Program biodiesel di Indonesia semakin serius dikembangkan. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi ketergantungan impor solar. Namun, mempertimbangkan dampaknya secara menyeluruh, Greenpeace melihat program biodiesel tidak sejalan dengan ekonomi hijau.
Kajian LPEM FEB UI menunjukkan, semakin agresif implementasi biodiesel maka kebutuhan CPO akan semakin besar. Hal ini akan mendorong kekurangan pasokan CPO yang akan terus terakumulasi setiap tahunnya. Jika penerapan B50 dilakukan (pada tahun 2021) defisit akan mencapai 108,6 juta ton CPO pada tahun 2025.
Adapun LPEM FEB UI membuat tiga skenario perhitungan dampak. Skenario pertama, penerapan B20 sampai tahun 2025; skenario kedua, penerapan B30 sampai tahun 2025; dan, skenario 3 penerapan B30 sampai 2020, dilanjutkan B50 untuk tahun 2021-2025.
Berdasarkan tiga skenario tersebut, hasil simulasi juga menunjukkan adanya ekspansi lahan akibat kebutuhan sawit yang meningkat. Skenario paling agresif (skenario 3) berpotensi menimbulkan kebutuhan lahan sawit baru sampai 9,3 juta ha pada 2025. Angka ini setara dengan 70 persen luas lahan sawit tahun 2019.
Sementara itu dampak program terhadap neraca berjalan sangat bergantung dengan harga CPO dan solar. Tahun 2020, pemerintah memperkirakan penghematan neraca berjalan mencapai Rp 112,8 triliun, sementara hasil proyeksi dari studi ini menunjukan bahwa penghematan hanya Rp 44 triliun.
Sedangkan untuk dampak terhadap subsidi energi, dengan asumsi subsidi FAME lebih besar ketimbang subsidi solar (seperti tahun 2018) sebagai kondisi yang lebih mungkin terjadi, penghematan tidak terjadi. Total subsidi yang lebih besar dari Rp 750 triliun pada tiap skenario membuat selisih antara subsidi solar murni (Rp 679 triliun) dengan subsidi biodiesel berturut-turut Rp 70 triliun (skenario 1), Rp 106 triliun (skenario 2), dan Rp 168 triliun (skenario 3).