Indonesia berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) melalui skema Nationally Determined Contribution (NDC) berdasarkan Perjanjian Paris 2015. Dalam NDC disebutkan, target penurunan emisi GRK adalah 29 persen melalui skema unconditional atau business as usual (BAU) atau 41 persen dengan bantuan internasional.
Sayangnya, Indonesia belum mampu mencapai target tersebut. Dalam laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan Monitoring, Pelaporan, Verifikasi (MPV) Nasional 2019 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), kontribusi Indonesia mengurangi emisi GRK hanya mencapai 7,85 persen pada 2018. Angka ini menurun signifikan dari tahun sebelumnya yang berkontribusi 17,62 persen. Adapun kontribusi pada 2016 atau setelah diratifikasinya Perjanjian Paris adalah sebesar 15,07 persen. Meningkat dari sebelumnya -23,37 persen pada 2015.
Sejumlah pekerjaan rumah menanti demi mencapai target NDC. Menurut Climate Action Tracker (CAT), tiga sektor utama harus menjadi titik fokus pemerintah untuk mendukung visi Perjanjian Paris. Di antaranya dekarbonisasi di sektor kelistrikan pada 2050 dengan menghentikan penggunaan batu bara sebagai bahan bakar dan memaksimalkan penggunaan energi terbarukan.
Adapun di sektor transportasi, Langkah yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan standar keekonomian bahan bakar, memperbanyak transportasi umum, dan memaksimalkan penggunaan mobil tenaga listrik.
Perjanjian Paris 2015 merupakan komitmen global yang dihasilkan dari COP21 untuk mengurangi emisi GRK dengan menekan kenaikan suhu di bawah 1,5°C hingga 2°C. Berdasarkan laporan Fundación Ecológica Universal (FEU) 2019, hingga 2020, 75 persen dari 184 negara belum mencapai target 50 persen pengurangan emisi GRK. Sementara Perjanjian Paris menetapkan target zero-carbon di seluruh dunia hingga 2030.