Petani sawit swadaya membutuhkan pendampingan terkait manajemen perkebunan dan good agricultural practice (GAP) untuk mewujudkan praktik perkebunan sawit berkelanjutan. Selama ini, hanya 8 persen dari para petani ini yang menerima penyuluhan terkait perkebunan dan pertanian sawit. Padahal, jumlah mereka mencapai 41 persen secara nasional. Sementara sebanyak 86 persen petani sawit juga belum memiliki mitra dan kelembagaan.
Di sisi lain, sebagian besar dari mereka belum menerapkan praktik penanaman kelapa sawit berkelanjutan karena minimnya pengetahuan dan pemahaman. Dalam teknis budidaya, para petani yang tidak bermitra juga kesulitan untuk mendapatkan bibit yang berkualitas. Hal ini berdampak pada rendahnya produktivitas yang rata-rata hanya kurang dari 3 ton per hektare.
Kondisi dipersulit dengan keadaan infrastruktur yang tidak menunjang tata niaga sawit. Banyak petani yang tidak mampu menjual hasil tandan buah segar (TBS) mereka secara langsung dikarenakan minimnya sarana transportasi dan infrastruktur jalan yang tidak mendukung. Sehingga mereka terpaksa menjual hasil panen ke tauke atau tengkulak dengan harga yang lebih rendah.
Kompleksnya masalah ini mendorong pentingnya pendampingan dan kemitraan bagi para petani sawit. Berbagai manfaat dapat diraih, seperti meningkatnya kapasitas para petani, mendorong terbentuknya kelembagaan tani, hingga terbukanya akses pasar yang lebih luas.
Adapun skema kemitraan dan pendampingan ini dapat dijalankan melalui peran aktif lembaga swadaya membentuk kelompok tani dan koperasi, hingga penyediaan pendidikan keterampilan petani.
Dalam hal ini, pemerintah dan pihak swasta juga diharapkan dapat lebih aktif dalam memberikan dukungan kepada petani melalui program peremajaan sawit rakyat (PSR), penyediaan sertifikasi bibit unggul, subsidi pupuk, hingga mengoptimalkan sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Adapun peran perusahaan dapat memaksimalkan skema Perkebunan Inti Rakyat (PIR) dan menerapkan sertifikasi, baik ISPO dan Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO).