Pemerintah Indonesia meluncurkan program insentif fiskal kendaraan listrik pada Maret 2023 untuk mengakselerasi adopsi kendaraan listrik di Tanah Air. Sebab dengan insentif fiskal, kendaraan listrik menjadi lebih ekonomis dibandingkan kendaraan berbahan bakar fosil.
Insentif fiskal berbeda dengan subsidi. Insentif fiskal diberikan dengan syarat kinerja, seperti kendaraan listrik yang rendah karbon sehingga efektif menekan emisi. Sementara subsidi diberikan tanpa syarat. Fungsinya sebagai jaring pengaman sosial untuk masyarakat yang kurang mampu dan skema ini kurang efektif mengurangi emisi.
Menurut Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB), insentif/disinsentif fiskal memainkan peran kunci dalam mendorong adopsi kendaraan beremisi rendah. Disinsentif cukai karbon sendiri diterapkan untuk kendaraan yang emisinya melebihi batas standar emisi karbon.
Penerimaan dari cukai karbon kemudian dialokasikan untuk memberikan insentif fiskal, sehingga tidak membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dampaknya, kendaraan dengan emisi karbon tinggi jadi lebih mahal, sementara kendaraan beremisi karbon rendah lebih murah dan diminati konsumen.
Sejak 2013, KPBB bersama pemerintah dan stakeholder terkait lainnya menghitung standar emisi karbon. Usulannya, emisi kendaraan pada 2020 sebesar 118 gram CO2 per kilometer untuk mobil dan 85,4 gram CO2 per kilometer untuk motor. Standar emisi karbon diperketat lagi pada 2030 dengan nilai 60 gram CO2 per kilometer untuk mobil dan 30 gram CO2 per kilometer untuk motor.
Menurut kajian KPBB, pengendalian emisi karbon dapat menghasilkan dampak ekonomi sebesar Rp 9.603 triliun pada 2030. Sementara penghematan dalam penggunaan bahan bakar minyak (BBM) diperkirakan mencapai Rp 677 triliun pada tahun yang sama.