Indonesia membutuhkan dana besar untuk mencapai target pengurangan emisi di sektor ketenagalistrikan serta pemanfaatan energi terbarukan hingga 34% dari total pembangkit pada 2030. Dalam dokumen rencana investasi atau Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) JETP, kebutuhan dana transisi energi mencapai US$96,1 miliar atau sekitar Rp1.480 triliun.
Dari jumlah itu, Indonesia sudah memperoleh komitmen investasi sebesar US$20 miliar atau sekitar Rp300 triliun. Komitmen tersebut berasal dari dua skema, yakni pembiayaan publik atau pinjaman pemerintah dari negara mitra atau lembaga multilateral lain. Kemudian pinjaman komersial yang merupakan pinjaman komersial.
Selain kedua skema pendanaan tersebut, Indonesia juga membuka opsi untuk pembiayaan lain yang dapat membantu mempercepat transisi energi. Bisa melalui pasar modal Indonesia (seperti Obligasi Hijau, Sosial, dan Berkelanjutan), pembiayaan campuran, filantropi, dan pembiayaan karbon.
Pendanaan ini masuk sesuai alur kebutuhan Indonesia di lima area fokus investasi. Pertama adalah untuk pembangunan jaringan dan transmisi listrik. Kedua untuk pensiun dini pembangkit listrik, termasuk PLTU Pelabuhan Ratu dan PLTU Cirebon-1.
Kemudian fokus investasi ketiga adalah akselerasi EBT yang dapat dikontrol dan konstan, seperti tenaga panas bumi, tenaga air, dan bioenergi. Proyek panas bumi diestimasi membutuhkan investasi hingga US$22,5 miliar, beberapa yang masuk prioritas seperti PLTP Dieng dan PLTP Gunung Salak.
Fokus investasi keempat adalah akselerasi EBT yang tergantung cuaca seperti tenaga surya dan tenaga bayu. Beberapa proyek yang menjadi prioritas adalah PLTS Indramayu, PLTS Banten, PLTB Maubesi, hingga PLTB Tanah Laut. Terakhir, fokus investasi kelima adalah pengembangan rantai pasokan EBT.