Amoeba pemakan otak manusia atau naegleria fowleri menelan korban jiwa pertama kalinya di Korea Selatan pada Rabu (21/12). Kasus ini terjadi pada pria berusia 50 tahun yang berpergian selama empat bulan ke Thailand sebelum kembali ke Korsel pada 10 Desember 2021.
Mengutip Korea Times, Badan Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Korea (KDCA) melaporkan kasus kematian tersebut pada Senin (26/12).
Ini adalah kasus resmi pertama infeksi akibat naegleria fowleri di Korea Selatan. KDCA belum menemukan rute penularan yang tepat, tetapi mencatat bahwa berenang di air yang terkontaminasi atau membilas hidung dengan air yang tidak aman adalah penyebab utama infeksi.
Apa itu amoeba pemakan otak?
Mengutip Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat, naegleria fowleri adalah amoeba atau organisme hidup bersel tunggal yang hidup di tanah dan air tawar yang hangat, seperti danau, sungai, dan mata air panas. Ini biasa disebut amoeba pemakan otak karena dapat menyebabkan infeksi otak.
Penyakit langka yang disebabkan amoeba dan menyerang sistem saraf pusat ini dinamakan Primary amebic meningoencephalitis (PAM). Hanya sekitar tiga orang di Amerika Serikat yang terinfeksi setiap tahun, tetapi infeksi ini berakibat fatal. Dari 154 orang di Amerika Serikat yang tercatat mengalami infeksi amoeba pemakan otak sejak 1962 hingga 2021, hanya empat orang yang berhasil selamat.
Bagaimana amoeba ini menginfeksi dan seperti apa gejalanya?
Tanda dan gejala infeksi naegleria fowleri mirip dengan meningitis yang disebabkan oleh bakteri. Orang menjadi terinfeksi ketika air yang mengandung naegleria fowleri memasuki hidung dan amoeba bermigrasi ke otak di sepanjang saraf penciuman. Orang tidak terinfeksi karena meminum air yang terkontaminasi.
Gejala dapat terlihat selama 1 hingga 12 hari (median 5 hari) setelah berenang atau amoeba measuki hidung. Orang yang terinfeksi juga dapat meninggal dunia selama 1 sampai 18 hari (median 5 hari) setelah gejala dimulai. PAM sulit dideteksi karena penyakit berkembang dengan cepat sehingga diagnosis terkadang muncul setelah pasien meninggal.
Tanda dan gejala yang muncul pada tahap pertama atau awal mirip dengan flu, yakni sakit kepala bagian depan yang parah, demam, mual, dan muntah. Gejala dapat berkembang dengan cepat ke tahap kedua, mulai leher kaku, kejang, status mental yang berubah, halusinasi, dan koma.
Penyakit ini umumnya berakibat fatal. Di antara kasus-kasus yang terdokumentasi dengan baik, hanya ada lima orang yang selamat di Amerika Utara, empat orang di Amerika Serikat pada 1978, 2013, dan 2016, dan satu orang di Meksiko pada 2003.
Bagaimana pengobatannya?
Pada kasus kesembuhan pertama di AS, kondisi korban secara bertahap membaik selama satu bulan rawat inap. Satu-satunya efek samping pengobatan yang dilaporkan adalah penurunan sensasi di kaki selama dua bulan setelah keluar dari rumah sakit, yang berangsur-angsur membaik. Pasien juga tidak lagi memiliki naegleria fowleri setelah 3 hari menjalani perawatan.
Namun, kasus kesembuhan ini juga dikaitkan dengan strain naegleria fowleri yang sebenarnya mungkin kurang ganas, sehingga berkontribusi pada pemulihan pasien. Dalam percobaan laboratorium, galur ini tidak menyebabkan kerusakan sel secepat galur lainnya. Ini menunjukkan bahwa galur tersebut kurang ganas daripada galur yang pulih dari kasus fatal lainnya.
Kondisi korban selamat Meksiko tidak mulai membaik hingga 40 jam setelah masuk rumah sakit. Pada hari ke 22 masuk, tidak ada kelainan yang ditunjukkan pada pemindaian otak dan pasien dipulangkan keesokan harinya. Pasien ditindaklanjuti selama 12 bulan berikutnya tanpa kekambuhan penyakit.
Selama musim panas 2013, dua anak dengan infeksi Naegleria fowleri selamat. Kasus pertama, seorang gadis berusia 12 tahun didiagnosis dengan PAM kira-kira 30 jam setelah sakit dan memulai pengobatan yang direkomendasikan dalam waktu 36 jam.
Dia juga menerima obat penelitian miltefosine, dan pembengkakan otaknya ditangani secara agresif dengan perawatan yang mencakup hipotermia terapeutik (mendinginkan tubuh di bawah suhu tubuh normal). Kesembuhannya telah dikaitkan dengan diagnosis dan pengobatan dini dan terapi baru termasuk miltefosine dan hipotermia.
Pasien kedua, yakni seorang anak berusia 8 tahun, juga dianggap sebagai penyintas PAM meskipun ia mungkin menderita kerusakan otak permanen. Dia juga dirawat dengan miltefosine tetapi didiagnosis dan dirawat beberapa hari setelah gejalanya dimulai. Hipotermia terapeutik tidak digunakan dalam kasus ini.
Pada musim panas 2016, seorang anak laki-laki berusia 16 tahun dilaporkan sebagai orang keempat yang selamat dari PAM AS. Pasien ini didiagnosis dalam beberapa jam setelah datang ke rumah sakit dan dirawat dengan protokol yang sama yang digunakan untuk penyintas berusia 12 tahun pada 2013. Pasien ini juga sembuh total secara neurologis dan kembali ke sekolah.
Secara keseluruhan, prospek orang yang terkena penyakit ini buruk, meskipun diagnosis dini dan pengobatan baru dapat meningkatkan peluang untuk bertahan hidup.