Pada 2023, malam satu Suro jatuh pada Selasa, 18 Juli. Peringatan malam satu Suro sangat lekat dengan budaya Jawa yang masih dilestarikan hingga saat ini.
Berbagai tradisi atau ritual dilakukan untuk menyambut satu Suro di sejumlah daerah. Di Solo misalnya, malam satu Suro dirayakan dengan kirab pusaka yang digelar oleh Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Bagi masyarakat Jawa, malam satu Suro dianggap sebagai malam yang sakral. Nah, apa itu malam satu suro, serta seperti apa sejarah dan tradisinya? Simak ulasan berikut ini.
Apa Itu Malam Satu Suro?
Pengertian malam satu suro atau satu sura merupakan malam pergantian tahun dalam kalender jawa. Malam satu suro bertepatan dengan tanggal 1 Muharram dalam kalender Islam.
Dikutip dari laman kemendikbud.go.id, kalender Jawa pertama kali diterbitkan pada tahun 1940 oleh Raja Mataram Sultan Agung Hanyokrokusumo. Kalender Jawa sendiri berdasarkan penggabungan pada penanggalan hijriyah atau kalender Islam, kalender masehi, dan Hindu.
Malam 1 Suro juga bertepatan dengan tanggal 1 Muharram. Malam 1 Suro diperingati pada malam hari setelah maghrib pada hari sebelum tanggal 1 Suro.
Hal itu karena dalam kalender Jawa pergantian hari dimulai pada saat matahari terbenam dari hari sebelumnya. Bukan pada tengah malam sebagaimana pergantian hari dalam kalender masehi.
Sejarah Malam Satu Suro
Istilah Suro berasal dari bahasa arab Asyura, yang berarti sepuluh. Pada lidah orang Jawa, istilah itu dilafalkan menjadi Suro. Bahkan, ada beberapa daerah yang menyebutkan sebagai Suran. Suran adalah peringatan malam satu Sura yang dilaksanakan pada malam pertama bulan Suro.
Istilah itu kemudian dijadikan sebagai bulan permulaan hitungan dalam takwim jawa. Sejarah malam satu Suro berawal dari Sultan Agung yang menyebut Muharam dengan bulan Sura.
Tahun Hijriah dipakai sebagai sistem penanggalan Muslim Jawa, yang juga ditetapkan oleh Sultan Agung pada abad ke-17. Sistem penanggalan itu disebut penanggalan aboge.
Dalam praktiknya, sistem penanggalan itu terkadang berjarak 1 hari lebih lama. Hanya saja, angka tahunnya memakai angka tahun Jawa yang lebih muda 78 tahun daripada tahun Masehi.
Tahunnya tetap menggunakan tahun Saka, namun perhitungan harinya diubah menjadi sistem tarikh qmariyah. Ini merupakan ijtihad penting yang dilakukan Sultan Agung dan menjadi simbol asimilasi budaya Islam dan budaya Jawa.
Malam satu Suro juga dipercaya sebagai malam yang sakral. Malam satu Suro dimulai ketika Sultan Agung menginginkan rakyatnya bersatu untuk menggempur Belanda di Batavia.
Untuk menghindari perpecahan, Sultan Agung menyatukan kelompok santri dengan abangan. Mereka menggelar pengajian bersama dengan penghulu kabupaten dan melapor ke pemerintahan setempat setiap Jumat legi.
Tak hanya itu, mereka juga melakukan ziarah kubur dan haul ke makam Sunan Ampel dan Giri. Akibatnya, 1 Sura atau 1 Muharam dikeramatkan. Mereka yang melakukan kegiatan lain selain mengaji, ziarah, dan haul dianggap akan sial.
Sedangkan untuk sebagian masyarakat, malam satu Suro dilarang berpergian kecuali untuk berdoa ataupun melakukan ibadah lain. Pada malam 1 Suro misalnya orang beramai-ramai mengunjungi tempat-tempat yang dianggap sakral dan keramat.
Tradisi Malam Satu Suro
Seperti informasi diatas, perayaan atau peringatan malam satu suro berkaitan erat dengan budaya Jawa. Ada banyak tradisi yang digelar pada malam satu suro.
masing-masing tradisi malam satu suro memiliki makna dan tujuan tersendiri. berikut sejumlah tradisi malam satu suro di Indonesia.
1. Kirab Kebo Bule
Salah satu tradisi menyambut malam satu Suro yang paling banyak dikenal oleh masyarakat adalah arak-arakan atau kirab hewan kerbau yang bernama kebo bule atau Kebo Kiai Slamet. Kebo bule bukan sembarangan, karena hewan ini termasuk pusaka penting milik Keraton Surakarta Hadiningrat.
Leluhur hewan kerbau yang kulitnya berwarna putih kemerahan itu, dulunya merupakan hewan kesayangan Paku Buwono II.
2. Jamasan Pusaka
Jamasan pusaka merupakan ritual mencuci benda pusaka pada bulan Suro. Tradisi ini masih dilestarikan oleh Keraton Yogyakarta, Keraton Surakarta Hadiningrat, dan Pura Mangkunegaran.
tradisi atau ritual jamasan pusaka selalu dilakukan oleh pihak keraton pada saat memasuki tahun baru Jawa. Pada Keraton Yogyakarta, ritual jamasan pusaka ini tidak harus dilakukan pada satu Suro atau awal tahun.
Jamasan pusaka dapat digelar sepanjang bulan Suro. Ritual mencuci benda pusaka ini memiliki makna tersendiri, yaitu membersihkan diri menyambut masa yang akan datang. Namun, jamasan pusaka ini umumnya digelar secara tertutup, alias tidak bisa dilihat oleh masyarakat umum.
3. Mubeng Beteng
Mubeng beteng atau Hajad Kawula Dalem Mubeng Beteng merupakan ritual malam satu Suro yang digelar oleh Keraton Yogyakarta. Tradisi malam satu suro ini digelar dengan berjalan kaki mengelilingi benteng Keraton Yogyakarta.
Saat menjalani ritual, peserta dilarang berbicara atau tapa bisu. Ritual mubeng beteng ini biasanya dilakukan pada tengah malam hingga dini hari malam satu Suro.
Para abdi dalem dan warga peserta ritual berjalan kaki sejauh kurang lebih lima kilometer mengelilingi benteng Keraton Yogyakarta. Makna mubeng beteng adalah usaha manusia untuk mendekatkan diri kepada Tuhan serta membersihkan dan mengendalikan diri dari segala nafsu duniawi.
4. Kirab Pusakadalem
Kirab pusakadalem merupakan tradisi yang digelar di Pura Mangkunegaran. Dalam tradisi ini, keluarga Pura Mangkunegaran, abdi dalem, serta masyarakat menggelar arak-arakan atau kirab pusaka mengelilingi tembok luar Pura Mangkunegaran sebanyak satu kali.
5. Sedekah Laut
Ritual serupa juga digelar oleh masyarakat sekitar Pantai Baron dan Pantai Kukup, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Tradisi tersebut disebut dengan sedekah laut.
Tradisi sedekah laut dimulai dengan selamatan atau kenduri yang diikuti oleh seluruh warga yang mencari rezeki di sekitar pantai. Selesai kenduri, makanan dan gunungan yang berisi hasil bumi dibawa oleh warga dengan mengenakan pakaian tradisional.
Sesampainya di tepi pantai, sesepuh atau orang yang dituakan oleh warga sekitar membuka ritual dengan doa. Dengan menabur bunga serta beberapa sesaji, empat gunungan kemudian dinaikan di atas kapal nelayan untuk selanjutnya dibawa menuju tengah laut.
Makna dari ritual ini adalah wujud syukur sekaligus harapan untuk rezeki yang lebih baik pada tahun mendatang.
6. Tapa Bisu
Tapa Bisu adalah tradisi tahunan berkeliling Keraton Yogyakarta tanpa sepatah kata pun. Tradisi Mubeng Beteng Tapa Bisu Lampah sendiri sudah dilakukan sejak zaman Sri Sultan Hamengkubuwono II untuk menyambut turunnya malam pertama suro.
Rangkaian ritual Topo Bisu diawali dengan lagu Macapat yang dinyanyikan oleh para abdi dalem Keraton Srimanganti Yogyakarta. Ada doa dan harapan dalam kata-kata balada lagu Macapat yang dinyanyikan.
Meditasi hening atau tapa bisu dimulai dari tengah malam hingga dini hari dan dimulai saat lonceng Kyai Brajanala dibunyikan sebanyak 12 kali di ring Keben. Kemudian para abdi dalem peserta tirakat mulai berjalan mengitari benteng Keraton Yogyakarta.
Rute Tapa Bisu dimulai dari Kelurahan Pancaniti, Jalan Rotowijayan, lalu Jalan Kauman, Jalan Agus Salim, lalu Jalan Wahid Hasyim, Suryowijayan, melewati Pojok Beteng Kulon, Jalan MT Haryono, Pojok Beteng Wetan, Jalan Brigjen Katamso, Jalan Ibu Ruswo dan berakhir di Yogyakarta . Alun-alun Utara.
Dalam tradisi tapa bisu ini, peserta berjalan dalam diam dan menempuh jarak sekitar 4 km. Rombongan mubeng beteng Tapa Bisu dipimpin para abdi dalem berpakaian Jawa tanpa keris dan sepatu, membawa bendera Indonesia dan bendera Keraton Yogyakarta.