Pemerintah Perlu Bikin Strategi Baru Mengatasi Sengketa di Laut Natuna

Image title
9 Maret 2022, 18:31
KRI Ardadedali-404 tiba di Pelabuhan Pangkalan TNI AL Ranai, Natuna, Kepulauan Riau, Minggu (4/4/2021). KRI Ardadedali-404 merupakan kapal selam diesel elektrik type 209/1400 yang dilengkapi peluncur torpedo 533 milimeter dan memiliki peluru kendali antik
ANTARA FOTO/Teguh Prihatna/Lmo/nz
KRI Ardadedali-404 tiba di Pelabuhan Pangkalan TNI AL Ranai, Natuna, Kepulauan Riau, Minggu (4/4/2021). KRI Ardadedali-404 merupakan kapal selam diesel elektrik type 209/1400 yang dilengkapi peluncur torpedo 533 milimeter dan memiliki peluru kendali antikapal permukaan yang merupakan modernisasi armada kapal selam TNI AL.

Pemerintah membutuhkan strategi baru dalam menyelesaikan beragam isu dengan Cina, menyangkut teritorial di perairan Natuna atau kawasan Laut Cina Selatan (LCS) yang saat ini diklaim Cina berdasarkan Sembilan Garis Putus-putus atau Nine Dash Line.

Peneliti dari Lee Kuan Yew School of Public Policy Singapura, Evan A. Laksamana, kebijakan yang selama ini digunakan pemerintah Indonesia tidak memberikan dampak terhadap situasi yang terjadi. Selain itu, pemerintah juga disarankan harus lebih realistis dalam menentukan target terkait kawasan Natuna.

“Lebih realistis, gimana caranya agar minimal enggak ada lagi illegal fishing dari Tiongkok (Cina) di Laut Natuna Utara,” ujar Evan dalam Diskusi Media ‘’Meneropong Manuver China di Laut Natuna Utara’’ pada Rabu (9/3).

Menurut Evan, terhadap negara-negara di kawasan ASEAN, seperti Indonesia, Cina menggunakan Grey Zone Tactic, yaitu taktik Zona Abu-Abu. Taktik ini menggunakan militer untuk melakukan aktivitas bukan agresi atau perang untuk meneguhkan posisi mereka di kawasan tersebut.

Ia memberikan contoh ketika mereka memanfaatkan jeda waktu proses pembuatan Code of Conduct atau Kode Perilaku antara Cina dan negara-negara ASEAN,  karena negosiasi memakan waktu lama, Cina menggunakannya untuk meningkatkan kapasitas militer mereka dengan membangun basis militer di sekitar LC). “Jadi lama-lama mereka jadi bangun banyak pangkalan militer seperti di kepulauan Parcel,” kata Evan.

Untuk mencegah tindakan ini meluas dan semakin merugikan Indonesia, menurut Evan pemerintah perlu memiliki satu tujuan yang spesifik dan realistis, yakni mencari cara agar Cina tidak lagi beraktivitas di wilayah Zona Eksklusif Ekonomi (ZEE) Indonesia. Namun sayangnya, Evan menilai setiap kementerian/lembaga masih memiliki interpretasi yang berbeda-beda.

Perbedaan tersebut lantas membuat Indonesia tidak memiliki unity of purpose atau kesatuan tujuan secara domestik yang konsisten. Hal ini lantas membuat pemerintah tidak mampu merancang sistem baru untuk manajemen krisis dan memastikan dapat menggunakan semua alat untuk mencegah krisis.

Pemerintah idealnya secara kebijakan strategis harus mempertimbangkan apa saja target yang harus dikejar. Namun, hal ini dirasa masih cukup jauh dengan kondisi pemerintahan yang saat ini ada. “Ada banyak hal yang kita masih harus bereskan baik dari sisi tools, diplomasi militer, ekonomi, maupun maritim,” ujar Evan.

Evan menilai persoalan dengan Cina mengenai Natuna dan LCS harus dipandang oleh pemerintah sebagai tantangan strategis. Artinya pemerintah tidak bisa melihat polemik ini hanya dalam ranah penegakan hukum atau law enforcement.

Halaman:
Reporter: Nuhansa Mikrefin
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...