Megawati Minta Budaya Bali jadi Gaya Hidup Melawan Pemanasan Global
Presiden Kelima RI Megawati Soekarnoputri mendorong pentingnya penggalangan dan kerja sama internasional melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dengan memperkuat Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) dalam mitigasi bencana.
Kerja sama tersebut penting bagi peningkatan kapabilitas mitigasi bencana, manajemen penanggulangan bencana, serta kemampuan dalam memprediksi bencana akibat tsunami, badai siklon, serta bencana iklim lainnya.
"Misalnya dengan memperkuat Organisasi Meteorologi Dunia yang terintegrasi dengan BMKG di semua negara," kata Megawati dalam pidatonya pada upacara penutupan Sesi Ke-7 Platform Global untuk Pengurangan Risiko Bencana (GPDRR), di Bali, Jumat (27/5) dikutip dari Antara.
Megawati juga mengajak seluruh negara dunia yang tergabung dalam PBB untuk bahu-membahu dalam memperkuat mitigasi bencana bagi kepentingan kemanusiaan, di tengah menguatnya ancaman pemanasan global dan perubahan iklim.
"Hal yang tidak kalah mendesak adalah perluasan fungsi BMKG di negara-negara berkembang di dalam prakiraan iklim bagi kepentingan pertanian dan mitigasi bencana," kata Megawati.
Selain itu, Megawati meminta warga dunia berefleksi terhadap kondisi bumi, dengan memakai perspektif orang Bali dalam melihat penderitaan bumi. Menurutnya, Nyepi dan Tri Hita Karana merupakan cara hidup yang dianut masyarakat Bali agar selaras dengan alam, dan peka terhadap tanda-tanda alam, termasuk di antaranya bencana.
“Bali yang terkenal dengan nama Pulau Dewata punya tradisi spiritual keagamaan dan kebudayaan khas Bali yang tidak sama dengan India, yaitu perayaan yang disebut Nyepi. Melalui Nyepi, masyarakat Bali tidak melakukan apa pun selama 24 jam,” kata Megawati di hadapan ribuan delegasi asing yang berasal dari 190 negara.
Bagi Indonesia, kerja sama internasional merupakan bagian dari kepribadian bangsa. Termasuk juga tugas Indonesia terhadap kepentingan umat manusia di dunia.
Megawati pun menyinggung falsafah Pancasila sebagai dasar negara, yang mengandung nilai ketuhanan, kemanusiaan, nasionalisme, demokrasi, dan keadilan sosial.
"Dengan falsafah ini, bangsa Indonesia telah membuat sejarah dengan menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955," ucap Megawati.
Atas dasar semangat yang sama, Megawati mengajak semua pihak memantapkan solidaritas internasional untuk menciptakan dunia yang damai, lestari, dan asri. Kemudian, memperkuat kesadaran dalam menjaga keseimbangan hidup planet bumi.
"Perkuatlah kerja sama seluruh civil society, kerja sama seluruh perguruan tinggi bagi pengembangan riset dan inovasi untuk kepentingan umat manusia sedunia," ujarnya.
Megawati juga sempat menceritakan pengalamannya saat menjadi Presiden dalam menginisiasi upaya mengatasi bencana alam.
Saat itu, Badan SAR diperkuat dan pemerintah juga membentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Selanjutnya, memperkuat peran dan fungsi BMKG pada fungsi strategis, termasuk menciptakan sistem peringatan dini dengan memanfaatkan kemajuan teknologi.
Dalam kapasitas sebagai ketua umum partai, Megawati membentuk Badan Penanggulangan Bencana (Baguna) PDIP.
"Hanya satu-satunya partai di Indonesia yang memiliki badan mitigasi bencana," katanya dengan bangga.
Namun, menurut Megawati, semua upaya tersebut masih kurang. Sebab berdasarkan laporan BMKG, tanda-tanda pemanasan global kian serius dan nyata. Permukaan air laut terus meninggi, ketidakpastian iklim dan berbagai fenomena alam lainnya kian ekstrem. "Bencana ekologi harus dijawab dengan segera, melalui tindakan nyata," ujarnya lagi.
Berdasarkan data BNPB dari awal Januari hingga 27 Mei 2022, di Indonesia telah terjadi 1.651 kejadian bencana. Jumlah ini meliputi 10 gempa bumi, 79 kebakaran hutan dan lahan, 1 kekeringan, 662 banjir, 308 tanah longsor, 583 cuaca ekstrem, dan 8 gelombang pasang atau abrasi.
Gempa bumi menjadi salah satu bencana alam paling mematikan sepanjang sejarah dunia. Selama periode 2010 hingga 2019 misalnya, gempa bumi menelan korban meninggal dunia hingga 267.480 jiwa secara global. Berikut datanya:
Akibatnya, lebih dari dua juta orang menjadi korban dan mengungsi, dengan 91 meninggal dunia, 628 mengalami luka-luka, dan 11 lainnya dinyatakan hilang.
Secara materiil, ribuan bencana itu juga merusak beragam fasilitas, seperti 86 jembatan, 67 perkantoran, 170 rumah ibadah, 379 sarana pendidikan, dan 64 fasilitas kesehatan.
Peristiwa paling banyak terjadi di Jawa Barat dengan 411 peristiwa, kemudian Jawa Tengah 282, dan Jawa Timur dengan 223.