23 Smelter Nikel Terancam Tutup Akibat Kebijakan Ekspor Mineral
Kebijakan pembukaan keran ekspor mineral mentah ikut ternyata berdampak terhadap operasional pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter). Sebanyak 92% smelter nikel yang ada di Indonesia merugi sejak adanya pemberlakuan kebijakan tersebut.
Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian Mineral Indonesia (AP3I) Jonatan Handjojo mengatakan saat ini ada 25 perusahaan yang membangun smelter nikel. Dari jumlah itu, hanya dua smelter di Morowali, Sulawesi Tengah yang masih beroperasi secara sehat. “Sisanya 23 smelter semua sakit," kata dia di Jakarta, Kamis (20/7).
(Baca: RI Larang Ekspor Nikel, Filipina Beruntung)
Jonatan belum mengetahui secara pasti jumlah kerugian yang mengancam perusahaan di bawah asosiasinya tersebut. Yang jelas, total investasi 23 smelter nikel yang terancam tutup itu mencapai US$ 18 miliar.
Adapun kebijakan relaksasi impor ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Aturan itu menyebutkan pemerintah kembali membuka keran ekspor kepada perusahaan tambang dalam negeri dengan catatan wajib membangun smelter paling lambat selama lima tahun ke depan.
Kebijakan itu juga diperkuat dengan aturan turunannya, yakni Peraturan Menteri ESDM Nomor 6 Tahun 2017. Dalam aturan itu, pemerintah melonggarkan ekspor bijih nikel dengan kadar kurang dari 1,7 persen. Sedangkan ekspor bijih bauksit dengan kadar lebih besar dari 42 persen dibuka asal sudah melalui proses pencucian.
(Baca: Jokowi Teken Aturan Izin Ekspor Mineral dengan Tiga Syarat)
Akibat kebijakan itu juga, jumlah pembangunan smelter setiap tahunnya belum menunjukkan perkembangan yang signifikan. Tahun 2015, dari 12 smelter bauksit atau nikel yang akan dibangun, hanya lima smelter yang terealisasi.
Tahun lalu juga kurang menunjukkan pembangunan smelter masih di bawah dari target. Dari empat pabrik yang rencananya dibangun, yang terealisasi hanya dua.
Padahal UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009 mengamanatkan adanya pembangunan smelter. Pasal 102 menyebutkan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) wajib meningkatkan nilai tambah mineral dan batubara dengan melakukan pengolahan dan pemurnian. Begitu juga untuk pemegang Kontrak Karya.
Kondisi tersebut juga diperparah dengan harga nikel yang terus turun. Saat ini Harga Pokok Produksi (HPP) untuk nikel yang telah dimurnikan kisarannya sebesar US$ 9.600 sampai 9.900 per ton. Padahal harga nikel di pasaran hanya US$ 8.600 per ton. (Baca: Perusahaan Tiongkok Tambah Investasi Rp 18 Triliun di Morowali)
Meski begitu, Jonatan tak bisa berbuat banyak karena harga pasaran nikel diatur Tiongkok sebagai produsen sekaligus pasar terbesar. "Tiongkok sudah merajai nikel, " ujar dia.