Fitch: Pasar Obligasi Indonesia Sudah Ketat karena Investor Terbatas
Lembaga pemeringkat internasional Fitch Ratings menyebut persaingan berebut dana di pasar obligasi alias surat utang mengetat. Penyebabnya, korporasi swasta dan pelat merah terus meningkatkan nilai penerbitan obligasi, sedangkan jumlah investor terbatas. Sejumlah regulasi yang dirilis pemerintah belum efektif mendongkrak jumlah investor.
“Akibat kurangnya permintaan, banyak korporasi yang terpaksa harus mengurangi besaran obligasi yang diterbitkannya atau menaikkan kupon untuk menarik investor,” demikian tertulis dalam analisis terbaru Fitch Ratings yang dilansir pada Jumat (18/8). (Baca juga: Tren Imbal Hasil Turun, Empat Bank BUMN Berlomba Jual Obligasi)
Imbasnya, jumlah korporasi yang menerbitkan obligasi di pasar domestik pun tak banyak berubah. Pada paruh pertama 2017, penerbitan obligasi, termasuk obligasi syariah (sukuk) tercatat sebesar Rp 56,5 triliun oleh 29 perusahaan. Sedangkan, pada periode sama tahun lalu sebesar Rp 46,7 triliun oleh 26 perusahaan.
Fitch mengatakan pemerintah telah turun tangan untuk mendorong investor berinvestasi lebih banyak di pasar obligasi domestik. Salah satu caranya, yaitu dengan mewajibkan institusi asuransi dan dana pensiun untuk mengalokasikan setidaknya 20% dari dana investasinya ke obligasi. Namun, “Banyak korporasi yang gagal menerbitkan instrumen utang lantaran profil kredit tidak cocok dengan ketentuan investor,” demikian tertulis.
Merespons kondisi tersebut, pemerintah juga tercatat sudah menurunkan ketentuan batasan minimal rating obligasi untuk investor institusi domestik dari minimal ‘A’ menjadi ‘BBB’. Harapannya, investor yang dimaksud bisa lebih banyak menyerap obligasi dengan rentang rating yang lebih lebar.
Namun, berdasarkan observasi Fitch, relaksasi aturan tersebut nyatanya tak cukup menjadi solusi. Sebab, banyak investor institusi yang memiliki kebijakan internal mengenai batasan minimal rating obligasi. Tak ayal, pada 2016, hanya 5% dari total Rp 113 triliun obligasi korporasi yang tercatat memiliki rating A- atau di bawahnya.
Atas dasar itu, Fitch menilai kebijakan baru Bank Indonesia (BI) yang mengizinkan korporasi non-bank menerbitkan instrumen utang berupa commercial paper bertenor pendek, tidak akan meningkatkan secara signifikan jumlah korporasi yang mencari pendanaan di pasar obligasi dan mengurangi ketergantungan korporasi pada kredit perbankan.
Meski begitu, kebijakan baru tersebut diyakini bisa membantu mendiversifikasi instrumen investasi di pasar keuangan dalam negeri dan menjadi alternatif sumber utangan korporasi selain kredit perbankan. Adapun kredit bank tercatat masih menjadi sumber pembiayaan utama di Indonesia dengan porsi mencapai 90% dari total utang. (Baca juga: Perbanyak Produk Investasi, OJK Ingin Saingi Pasar Modal Thailand)
Di sisi lain, Fitch memandang positif upaya otoritas memfasilitasi perusahaan Indonesia menerbitkan obligasi rupiah di pasar global. Namun, Fitch menilai minat investor asing masih harus diuji. Sebab, investor asing dinilai berlaku konservatif saat berinvestasi di obligasi korporasi Indonesia lantaran pasar sekundernya relatif belum likuid. (Baca juga: Jasa Marga Akan Terbitkan Obligasi Rupiah di Luar Negeri Rp 4 T)
“Ketika pembeli asing menyumbang sekitar setengah dari pasar ekuitas Indonesia dan memegang sebagian besar obligasi pemerintah Indonesia, mereka hanya menguasai 6% -7% dari pasar obligasi (korporasi) lokal,” demikian tertulis.