Pimpinan Disidik Polisi, KPK: Surat Pencegahan Setnov Sah Secara Hukum
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan surat permohonan pencegahan ke luar negeri yang diajukan untuk Ketua DPR Setya Novanto telah memiliki dasar hukum yang kuat. Penerbitan surat tersebut bukanlah bentuk penyalahgunaan wewenang seperti yang dituduhkan oleh polisi.
"Pelaksanaan pencegahan seseorang ke luar negeri adalah tindakan yang sah secara hukum, bukan penyalahgunaan wewenang apalagi pemalsuan surat," kata juru bicara KPK Febri Diansyah dalam keterangan tertulisnya, Jumat (10/11).
Dua pimpinan KPK, Agus Rahardjo dan Saut Situmorang, kini disidik kepolisian karena dianggap menyalahgunakan wewenang dalam membuat surat permohonan pencegahan Setnov ke luar negeri. Kepolisian mengeluarkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) terhadap Saut dan Agus pada 7 November 2017.
(Baca: Polri Sidik Pimpinan KPK Terkait Surat Pencegahan Setnov ke LN)
Surat yang ditandatangani Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen (Pol) Herry Rudolf Nahak itu ditujukan kepada Jaksa Agung dengan tembusan kepada Kabareskrim Polri dan Karowassidik Bareskrim Polri.
Febri mengatakan, pencegahan seseorang keluar negeri penting untuk memperlancar penanganan kasus korupsi. Terutama, untuk memastikan saksi atau tersangka datang ketika dipanggil saat pemeriksaan.
Febri menjelaskan, penerbitan surat pencegahan terhadap seorang saksi atau tersangka dilandaskan pada Undang-undang KPK Nomor 30 Tahun 2002, UU Nomor 6 Tahun 2011 tentang Imigrasi, serta Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013.
(Baca: Setya Novanto Kabur Hindari Pertanyaan Soal SPDP KPK)
Dalam UU KPK Pasal 12 ayat 1 huruf b disebutkan bahwa lembaga antirasuah tersebut berwenang memerintahkan kepada instansi terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri.
Dalam UU Imigrasi Pasal 91 ayat (2) disebutkan bahwa menteri melaksanakan pencegahan berdasarkan perintah Ketua KPK sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Hal yang sama pun disebutkan dalam PP Nomor 31 Tahun 2013 Pasal 26 ayat (2).
Selain itu, landasan hukum atas penerbitan surat pencegahan lainnya berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi: PUT No. 64/PUU-IX/2011 – Perkara Pengujian UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian terhadap UUD Negara RI.
Febri menuturkan, putusan MK ini tidak mengurangi kewenangan KPK yang diatur di Pasal 12 ayat (1) huruf b UU KPK untuk memerintahkan instansi yang berwenang untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri dalam tingkat penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
"Pasal 12 ayat (1) huruf b tidak mengatur apakah seseorang itu harus tersangka, terdakwa atau tidak. Ini merupakan ketentuan yang bersifat khusus," kata Febri. (Baca: Setnov Mangkir dari Pemeriksaan, DPR Minta KPK Izin Jokowi)
Febri pun menilai putusan praperadilan yang dipimpin hakim tunggal Cepi Iskandar tidak mengabulkan petitum keempat yang diajukan pihak Novanto. Petitum tersebut merupakan permintaan pencabutan penetapan pencegahan terhadap Novanto yang dilakukan KPK.
"Ditegaskan bahwa penetapan tersebut merupakan kewenangan administrasi dari pejabat administrasi yang mengeluarkan penetapan," kata dia.
Salah satu kuasa hukum Novanto, Sandy Kurniawan, melaporkan Saut dan Agus atas surat permohonan pencegahan Setnov. Sandy melaporkan dua pimpinan KPK pada 9 Oktober 2017 dengan dugaan pelanggaran Pasal 263 dengan pasal 421 juncto Pasal 23.
Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen (Pol) Setyo Wasisto mengatakan, peningkatan status ini dilakukan setelah sejumlah pemeriksaan terhadap saksi. Penyidik sudah memeriksa ahli bahasa, ahli pidana, dan ahli hukum tata negara dalam kasus ini.
Setyo menuturkan, polisi menetapkan Pasal 263 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 dan/atau Pasal 421 KUHPidana dalam kasus tersebut. Namun, polisi masih belum menetapkan tersangka. "Tentang status tersangka itu urusan nanti, masih panjang. Masih memerlukan waktu dan ada proses," kata Setyo.