Freeport Belum Selesaikan 12 Perkara Hasil Pemeriksaan BPK
PT Freeport Indonesia masih memiliki “pekerjaan rumah” untuk menindak lanjuti 12 temuan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Ini karena dari 14 temuan, baru dua yang diselesaikan.
Hal itu terungkap dalam rapat kerja (Raker) antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Komisi VII DPR RI, Selasa (5/12). Salah satu agenda rapat tersebut adalah menyampaikan tindak lanjut atas 14 temuan BPK.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu bara (Minerba) Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan salah satu temuan yang sudah diselesaikan Freeport adalah kelebihan biaya concentrate holding sebesar US$ 181 ribu. "Freeport sudah melunasi kurang bayar tersebut melalui aplikasi simponi milik Kementerian Keuangan," kata dia.
Perkara kedua, yang sudah dirampungkan Freeport adalah kewajiban pemulihan tambang. Perusahaan asal Amerika Serikat ini akhirnya menyerahkan kewajiban penempatan dana pemulihan tambang ke pemerintah untuk tahun 2016 senilai US$ 22,286 juta atau Rp 294 miliar. Bahkan angka ini sudah disetujui Direktorat Jenderal Minerba.
Sementara untuk 12 temuan lainnya masih dalam tahap penyelesaian. Salah satunya mengenai penggunaan kawasan hutan lindung tanpa izin dalam kegiatan operasional pertambangan Freeport seluas minimal 4.535,93 hektare. Akibatnya, negara berpotensi merugi sekitar Rp 270 miliar. "Hal ini kewenangannya ada di Kementerian Lingkungan Hidup," kata dia.
Selain itu ada temuan BPK mengenai kontrak karya Freeport yang menyebabkan hilangnya potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) periode 2009-2015 senilai US$ 445,96 juta atau sekitar Rp 6,05 triliun (asumsi kurs hari ini). Temuan ini bagian dari Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2017.
Bambang merinci potensi kehilangan penerimaan negara sebesar Rp US$ 445,96 juta tersebut terdiri dari iuran tetap sebesar US$ 1,2 juta, royalti US$ 393 juta, dan royalti sukarela US$ 51 juta. Potensi kehilangan penerimaan negara ini terjadi karena adanya perbedaan antara tarif pada Kontrak Karya dengan Peraturan Pemerintah mengenai Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Atas temuan itu, BPK pun merekomendasikan dua hal kepada Kementerian ESDM. Rekomendasi pertama adalah mencantumkan klausul untuk tunduk atau menyesuaikan dengan peraturan perundangan dari waktu ke waktu yang berlaku di negara Indonesia, pada setiap skema kerja sama sektor pertambangan baik berbentuk Kontrak Karya, Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2B) dan Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Menanggapi rekomendasi ini, Kementerian ESDM telah dan akan melakukan renegosiasi kontrak yang ditargetkan selesai seluruhnya tahun 2017. Ini mengacu Undang-undang Nomor 4 tahun 2009.
Adapun rekomendasi kedua dari BPK adalah setiap ada perubahan UU maupun peraturan perundangan terkait pertambangan perlu melibatkan para pemangku kepentingan terkait khususnya pelaku industri. Tujuannya agar aturan perundangan yang baru segera dapat diterapkan.
(Baca: BPK: Setoran Negara Hilang Rp 6 Triliun dari Kontrak Karya Freeport)
Atas rekomendasi tersebut, Direktur Jenderal Minerba akan melakukan peningkatan sosialisasi terkait adanya perubahan kebijakan bidang pertambangan tersebut. Ini agar seluruh pelaku bisa mengikuti aturan yang ada.