Kementerian ESDM Putuskan Pengelola Empat Blok Habis Kontrak 2019
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akhirnya memutuskan nasib pengelolaan empat blok minyak dan gas bumi (migas) yang kontraknya berakhir tahun depan. Dua dari empat blok tersebut diserahkan kepada PT Pertamina (Persero) selaku pengelola eksisting.
Dua blok tersebut yakni Raja dan Pendopo; dan Jambi Merang. Di dua blok tersebut, Pertamina melalui anak usahanya memiliki hak kelola 100%.
Pada kontrak lama, Pertamina Hulu Energi Jambi Merang hanya memiliki hak kelola 50%. Kemudian ada Repsol 25% dan sisanya Pacific Oil & Gas (Jambi Merang) Limited. Adapun, operatornya adalah Badan Usaha Bersama (Joint Operating Body/JOB) Pertamina-Talisman Jambi Merang.
Di Blok Jambi Merang Pertamina nantinya mendapatkan bagi hasil (split) untuk minyak sebesar 46,5% untuk Pertamina, dan pemerintah mendapatkan 53,5%. Sementara untuk gas Pertamina memperoleh split 51,5% dan pemerintah mendapatkan 48,5%.
Sementara itu di Blok Raja dan Pendopo, Pertamina harus berbagi dengan PT Golden Spike Energy Indonesia masing-masing 50%. Operator lamanya adalah JOB Pertamina-Golden Spike Energy Indonesia, Ltd. Namun, di kontrak baru Golden Spike memutuskan tidak memperpanjang kontrak.
Di Blok Raja dan Pendopo Pertamina mendapatkan bagi hasil 46% untuk minyak, dan 54% pemerintah. Gasnya 51% untuk Pertamina, dan 49% untuk pemerintah.
Direktur Jenderal Migas Djoko Siswanto mengatakan penambahan dua blok terminasi ini akan meningkatkan kontribusi Pertamina terhadap produksi migas nasional menjadi 39% dari sebelumnya hanya 20%. "Kami berharap Pertamina bisa mempertahankan produksi ini," kata dia.
Adapun, dua blok lainnya yang diputuskan adalah Bula dan Seram NonBula. Untuk Blok Bula, Kementerian ESDM memperpanjang kontrak Kalrez Petroleum (Seram) Ltd dengan hak kelola 100%.
Sedangkan Blok Seram NonBula juga akan diserahkan kepada kontraktor saat ini. Mereka adalah Citic Seram Energy Limited 41%, Gulf Petroleum Investment Company KSCC 16,5%, Lion International Investment Limited 2,5%, dan PT GHJ Seram Indonesia 10%. Sisanya PT Petra Indo Mandiri 30%.
Untuk blok Bula kontraktor memperoleh 66,5% untuk minyak dan pemerintah mendapatkan 33,5%. Blok ini tidak memproduksi gas.
Selain itu untuk Blok Seram Non Bula, kontraktor memperoleh 72,87% untuk minyak dan pemerintah mendapatkan 27,12%. Blok ini juga tidak memproduksi gas.
Blok Bula dan Seram NonBula diserahkan ke kontraktor lama, karena PT Pertamina (Persero) juga tidak mengajukan minat mengelolanya. Alasannya lokasi dua blok itu terpencil dan butuh biaya besar.
Meski sudah diputuskan perpanjangan 20 tahun, kontrak empat blok tersebut belum diteken. "Dua minggu lagi akan ditandatangani," kata Djoko di Jakarta, Jumat (11/5).
Setelah diteken, jumlah blok yang menggunakan skema gross split akan bertambah. Totalnya menjadi 20 kontrak.
Total bonus tanda tangan yang akan diterima Pemerintah dari empat blok ini sebesar US$ 20,29 juta atau setara Rp 285 miliar. Perinciannya, untuk Blok Jambi Merang US$ 17,298 juta, Raja dan Pendopo US$ 1 juta, Bula US$ 1 juta dan Seram NonBula US$ 1 juta.
Sementara perkiraan total Investasi Komitmen Kerja Pasti 5 tahun pertama di empat blok itu sebesar US$ 308 juta atau sekitar Rp 4,3 triliun. Jika dirinci, untuk Blok Jambi Merang US$ 239,3 juta, Raja dan Pendopo US$ 15,55 juta; Bula US$ 5,25 juta, Seram NonBula US$ 48,892 juta.
(Baca: Ubah Aturan, Kontraktor Lama Diprioritaskan Perpanjang Kontrak Migas)
Pelaksana tugas (Plt) Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati memperkirakan ada tambahan produksi dalam 2-3 tahun dari perpanjangan dua kontrak itu. "Kami sadari memang produksi Pertamina perlu lebih agresif lagi. Ini komitmen pasti dari Pertamina," kata dia.
Menurut Nicke, Pertamina juga mendapatkan tambahan penerimaan dari 10 blok terminasi yang sudah diberikan pemerintah. Jika ditotal, tambahan penerimaan itu mencapai US$ 24 miliar selama 20 tahun untuk 10 blok itu.
Ke depan, Pertamina juga membuka peluang kepada perusahaan lain untuk bisa menjadi mitra dalam mengelola Blok Jambi Merang serta Raja dan Pendopo. Ini karena Pertamina perlu mitra untuk memitigasi risiko dalam pengelolaan hulu migas.