Tepis Kritik Ketua MPR soal Utang, Sri Mulyani: Itu Politis dan Sesat
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati melalui akun Facebook resminya memberikan penjelasan terkait tudingan bahwa pemerintah seakan lalai di dalam mengelola utang.
Komentar soal utang negara sempat diutarakan Ketua MPR Zulkifli Hasan saat Sidang Tahunan MPR 2018, di Gedung DPR/MPR, Jakarta, pekan lalu. Menurutnya, pemerintah tidak bisa mengklaim jumlah utang Rp 4.200 triliun sebagai kisaran aman.
Nilai utang tersebut dinilai di luar batas wajar. Zulkifli juga menyampaikan perbandingan bahwa pembayaran utang sekitar Rp 400 triliun pada tahun ini setara tujuh kali dana desa serta enam kali anggaran kesehatan. "Itu di luar batas kewajaran dan batas negara untuk membayar," katanya.
(Baca juga: Di Sidang Tahunan, Ketua MPR Soroti Gejolak Harga Bahan Pangan)
Menurut Sri Mulyani, pernyataan ketua MPR itu selain bermuatan politis bahkan bisa menyesatkan persepsi berbagai pihak. "APBN adalah instrumen untuk mencapai cita-cita bernegara. Kredibilitas pengelolannya sudah teruji. Mari cerdaskan rakyat dengan politik yang berbasis informasi yang benar dan akurat," tulisnya, Senin (20/8).
Beberapa poin yang dijabarkannya, pertama-tama soal pembayaran pokok utang sebesar Rp 396 triliun pada tahun ini yang dihitung berdasarkan posisi utang per akhir tahun lalu. Sebesar 44% dari nilai tersebut merupakan utang yang dibuat pada periode sebelum 2015. Kala itu Joko Widodo belum menjadi presiden tetapi Zulkifli Hasan sudah menjabat sebagai ketua MPR.
Adapun, sekitar 31,5% pembayaran pokok utang untuk instrumen Surat Perbendaharaan Negara (SPN) atau SPN-S bertenor di bawah setahun. Ini adalah alat untuk mengelola arus kas (cash management). "Pembayaran utang saat ini adalah kewajiban yang harus dipenuhi dari utang masa lalu, mengapa baru sekarang diributkan?," kata menteri yang sempat menjabat direktur pelaksana Bank Dunia itu.
Soal komparasi nilai utang dengan anggaran kesehatan dan Dana Desa, dia menguraikan bahwa pembayaran pokok utang Indonesia pada 2009 senilai Rp 117,1 triliun sedangkan anggaran kesehatan saat itu Rp 25,6 triliun. Artinya, besaran pembayaran pokok utang 4,57 kali lipat anggaran kesehatan.
Pada tahun ini, pembayaran pokok utang adalah Rp 396 triliun sedangkan anggaran kesehatan Rp 107,4 triliun. Dengan kata lain, perbandingannya mengecil menjadi pembayaran utang setara 3,68 kali dari anggaran kesehatan. Anggaran kesehatan ditingkatkan pada tahun depan menjadi Rp 122 triliun.
"Mengapa pada saat ketua MPR ada di kabinet dulu tidak pernah menyampaikan kekhawatiran soal perbandingan pembayaran pokok utang dengan anggaran kesehatan, padahal rasionya lebih tinggi daripada sekarang? Jadi, ukuran kewajaran yang disebut ketua MPR sebenarnya apa?" ujar Sri Mulyani.
Apabila dikomparasikan dengan anggaran Dana Desa, sebaiknya dicermati sejak 2015. Ketika itu, imbuhnya, Dana Desa baru dimulai dan perbandingannya dengan besaran pembayaran pokok utang sekitar 10,9 kali lipat. Pada tahun ini, turun menjadi 6,6 kali bahkan pada tahun depan lebih kecil lagi tinggal 5,7 kali lipat.
Dengan demikian, imbuh menkeu, utang pemerintah mengarah kepada penurunan. Komentar ketua MPR pada pekan lalu justru dipertanyakan balik bahkan konteksnya dianggap keliru. "Bukankah tanggung jawab pemimpin negeri ini adalah memberikan pendidikan politik yang baik kepada rakyat dengan memberikan data dan konteks yang benar," tutur Sri Mulyani.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menegaskan, pengelolaan utang sejauh ini dilakukan dengan sangat hati-hati dan akuntabel. Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) selalu dijaga di bawah 3% per Produk Domestik Bruto (PDB) sesuai UU Keuangan Negara. Defisit pernah di posisi 2,59% (2015), lalu ke level 2,49% (2016), dan menjadi 2,51% (2017). Pada tahun ini, diprakirakan sebesar 2,12% dan terus menyusut ke kisaran 1,84% pada tahun depan.
(Baca juga: 2019, Defisit APBN Diprakirakan 1,84% terhadap PDB)
Selain itu, defisit keseimbangan primer turut diupayakan menurun bahkan ke arah surplus. Apabila dirunut ke belakang pada 2015 defisit keseimbangan primer Rp 142,5 triliun kemudian turun menjadi Rp 129,3 triliun (2017). Di dalam asumsi APBN tahun ini nilainya lebih kecil sebesar Rp 64,8 triliun. Pada tahun depan, direncanakan defisit keseimbangan primer tinggal Rp 21,74 triliun.
"Sekali lagi, ini menunjukkan bukti kehati-hatian pemerintah dalam menjaga keuangan negara menghadapi situasi global yang sedang bergejolak. Apakah ini bukti ketidakwajaran atau justru malah makin wajar dan hati-hati?" kata Sri Mulyani.
Kemenkeu menyatakan bahwa selama periode 2015 - 2018, pertumbuhan pembiayaan APBN melalui utang negatif. Artinya, besaran utang diupayakan semakin turun seiring dengan menguatnya penerimaan perpajakan maupun nonpajak.
Tiga tahun lalu, pertumbuhan pembiayaan utang 49,0% sebagai bagian dari upaya pengamanan ekonomi akibat jatuhnya harga minyak dan komoditas lain. Pada tahun ini, pertumbuhan pembiayaan utang justru menjadi negatif 9,7%.
Menkeu mengemukakan bahwa kondisi perekonomian saat ini merupakan cermin pemerintah sangat berhati-hati dalam mengelola APBN maupun utang. Indonesia bahkan mendapat perbaikan rating menjadi investment grade dari semua lembaga pemeringkat dunia sejak 2016.
"Jadi siapa yang lebih berkompeten menilai kebijakan fiskal dan utang pemerintah wajar atau tidak?" tulis Sri Mulyani di akhir pemaparannya.