Tekanan Menguat, Kurs Rupiah 15.400 per Dolar AS di Pasar Berjangka
Tekanan terhadap nilai tukar rupiah semakin besar. Pada perdagangan di pasar spot, Selasa (4/9), nilai tukar rupiah melemah tajam hingga semakin mendekati level 15.000 per dolar AS. Seiring kondisi tersebut, nilai tukar rupiah di pasar berjangka atau forward melambung tinggi.
Mengacu pada data Bloomberg, nilai tukar rupiah ditutup pada level Rp 14.935 per dolar AS di pasar spot pada Selasa, melemah 0,81% dibandingkan penutupan hari sebelumnya. Pelemahan nilai tukar juga dialami mata uang Asia lainnya, namun hanya berkisar 0,1% sampai 0,51%. Ini artinya, nilai tukar rupiah melemah paling tajam.
Sementara itu, kurs jual di perbankan tercatat sudah menembus level 15.000 per dolar AS. Kurs jual dolar AS di Bank CIMB Niaga tercatat sebesar Rp 15.150, di Bank Central Asia (BCA) sebesar Rp 15.100, dan di Bank Mandiri sebesar Rp 15.012. Seiring kondisi tersebut, nilai tukar rupiah di pasar berjangka atau forward melambung tinggi.
Berdasarkan data Bloomberg, kurs rupiah di pasar forward untuk jangka waktu satu bulan telah menembus level 15.100 per dolar AS, sedangkan untuk jangka tiga bulan telah menembus level 15.400 per dolar AS. Dengan kurs forward yang di atas Rp 15.000 biaya lindung nilai (hedging) dolar AS bakal lebih mahal.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menjelaskan pelemahan nilai tukar rupiah lebih disebabkan oleh faktor eksternal. Faktor eksternal yang berulang kali disebut di antaranya potensi kenaikan lebih lanjut bunga acuan AS, perang dagang antara AS dan Tiongkok, hingga sentimen negatif terkait krisis Turki dan Argentina. Tumpukan isu global tersebut memicu pelarian modal asing dari pasar keuangan negara berkembang ke aset safe haven seperti dolar AS.
(Baca juga: Menko Darmin: Jangan Samakan Keoknya Rupiah Saat Ini dengan 1998)
Adapun pada perdagangan di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Selasa ini, investor asing tercatat membukukan penjualan bersih (net sell) di keseluruhan pasar sebesar Rp 428,48 miliar. Seiring aksi jual tersebut, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tercatat turun 1,04% ke level 5.905. Dengan perkembangan tersebut, net sell asing di saham telah mencapai Rp 50,49 triliun sepanjang tahun ini.
Meski begitu, Darmin tak menepis adanya persoalan domestik yakni melebarnya defisit transaksi berjalan alias perdagangan barang dan jasa lintas negara. Pelebaran defisit menunjukkan membesarnya ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan valuta asing (valas). Pada kuartal II lalu, defisit transaksi berjalan tercatat mencapai US$ 8 miliar atau setara 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Level defisit tersebut berada di ambang batas aman yang dibidik pemerintah.
Pemerintah sendiri optimistis bisa menekan defisit transaksi berjalan lewat sederet kebijakan. Beberapa kebijakan yang diunggulkan seperti mendorong pariwisata, pembatasan impor khususnya barang konsumsi hingga kewajiban pencampuran minyak sawit sebesar 20% untuk solar. Dengan beragam kebijakan tersebut, pemerintah berharap defisit transaksi berjalan untuk keseluruhan bisa kembali ke bawah 3% terhadap PDB.
(Baca juga: Menanti Reaksi Obat Penguat Rupiah Racikan Pemerintah)
Di luar itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sempat menyebut bahwa pihaknya bersama anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) juga bakal memonitor pembelian dolar AS. Tujuannya, guna menghindari pembelian dolar AS untuk spekulasi. “Kami bersama KSSK akan meneliti dan memonitor detail tingkah laku dari pelaku pasar mana yang butuh transaksi (valas) yang legitimate (yang jelas peruntukannya) dan mana transaksi yang tidak," kata dia, usai rapat dengan Presiden Joko Widodo, di Istana Negara, Jakarta, Senin (3/9).
Adapun pelemahan cepat nilai tukar rupiah berisiko menganggu kinerja bisnis dan perekonomian. Februari lalu, Direktur Senior S&P Global Ratings Xavier Jean sempat memperingatkan pergerakan nilai tukar rupiah yang mendekati Rp 15.000 per dolar AS. Pada 2015, rupiah merosot dari kisaran Rp 12 ribu mendekati Rp 15.000 hanya dalam beberapa bulan. Kondisi tersebut berdampak terhadap kinerja perusahaan-perusahaan yang membutuhkan valuta asing (valas) untuk operasional.
Bahkan, menurut dia, beberapa perusahaan sampai harus merestrukturisasi utang lantaran bisnisnya berisiko terhenti imbas pelemahan kurs ketika itu. Depresiasi cepat rupiah juga memengaruhi kepercayaan investor. "Level 15.000 adalah level yang harus diperhatikan karena level Rp 15.000 adalah turbulensi yang nyata," ucapnya.