Intervensi BI Tak Mempan, Bunga Acuan Diprediksi Naik Lagi
Intervensi Bank Indonesia (BI) di pasar valuta asing tetap tidak mampu menahan rupiah dari gempuran dolar Amerika Serikat (AS). Bank sentral diprediksi akan kembali menaikkan suku bunga acuan 7 Days Repo Rate (7DRR) sebanyak dua kali menjadi 5,25% untuk menahan rupiah di bawah level psikologis Rp 14.000 per dolar AS.
Laporan tim Global Economics & Markets Research UOB Bank untuk Kuartal III 2018 menyebutkan, dolar AS terus menguat seiring rencana kenaikan suku bunga acuan The Fed dan melambatnya momentum pertumbuhan ekspor Asia akibat eskalasi tensi perdagangan antara AS dan Tiongkok. Hal ini membuat mata uang negara-negara Asia melemah terhadap dolar AS, tak terkecuali rupiah yang sejak awal tahun ini terdepresiasi sebesar 8% terhadap dolar AS.
UOB menyebutkan, sejak menaikkan BI 7DRR sebanyak sebesar 50 bps ke level 4,75% pada Mei lalu BI berjanji untuk melanjutkan upayanya menstabilkan nilai tukar rupiah sesuai fundamentalnya. Namun, upaya intervensi yang dilakukan BI ternyata belum cukup ampuh menahan gempuran di pasar valas global. UOB memprediksi BI akan kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 5% pada kuartal III 2018 dan 25 bps lagi ke level 5,25% pada kuartal IV 2018.
"Rangkaian kenaikan suku bunga acuan BI ini akan menjaga rupiah stabil di bawah level psikologis Rp 14.000 per dolar AS," kata Tim Riset UOB. Secara keseluruhan, UOB memproyeksikan rupiah akan ditransaksikan di level Rp 13.950 per dolar AS pada kuartal III 2018 dan Rp 14.000 per dolar AS pada kuartal IV 2018 hingga kuartal II 2019.
Pada penutupan perdagangan Selasa (4/9), nilai tukar rupiah berdasarkan kurs tengah BI ditutup di level Rp 14.840 per dolar AS. Ini merupakan level terendah sejak krisis keuangan Asia pada 1998. Selama dua hari berturut-turut rupiah telah menembus level Rp 14.800 per dolar AS. Kontrak swap dolar untuk tiga bulan ke depan bahkan sempat menyentuh level Rp 15.400 per dolar AS.
Selama periode Januari-Agustus 2018, BI telah menggunakan cadangan devisa senilai US$ 13,6 miliar untuk intervensi di pasar. Strategi menaikkan suku bunga acuan dilakukan agar cadangan devisa tidak tergerus terlalu dalam.
(Baca: Perang Dagang Hingga Krisis Argentina Menekan Rupiah Mendekati Rp 14.900)
Faktor Ketidakpastian
Direktur Pasar Modal sekaligus Kepala Riset PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia Taye Shim mengatakan, sejak awal tahun ini faktor ketidakpastian terus meningkat. Investor pun mengukur kembali risiko yang dihadapi portofolio investasinya. Kebijakan perdagangan yang dikeluarkan Presiden AS Donald Trump mengguncang perekonomian dunia. "Kami perkirakan turbulensi ini akan berlanjut hingga pemilihan tengah periode anggota Kongres AS pada 6 November 2018," kata Taye dalam riset berjudul "Don't Fight The Current" yang dirilis belum lama ini.
Fundamental ekonomi Indonesia saat ini dinilai jauh lebih baik dibandingkan beberapa tahun terakhir. Sayangnya, kondisi ini tidak bisa menahan arus keluar modal asing. Ketidakpastian yang muncul menjelang Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) yang akan berlangsung 17 April 2019 turut membebani pertimbangan para investor. Mirae mempertahankan rekomendasi underweight terhadap saham-saham di Bursa Efek Indonesia (BEI). Dalam kondisi seperti ini, saham-saham dengan kapitalisasi pasar besar lebih menarik dibandingkan dengan saham-saham yang memiliki kapitalisasi pasar kecil.
Taye mempertahankan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2018/2019 di angka 5,2% dan 5,3%. Mirae menyesuaikan proyeksi nilai tukar terhadap dolar AS dan suku bunga acuan. Pada 2018, rupiah diprediksi akan ditransaksikan di level Rp 14.200 per dolar AS dengan suku bunga acuan mencapai 6% sedangkan pada 2019 rupiah akan ditransaksikan di level Rp 14.330 per dolar AS dengan suku bunga acuan 7DRR di level 6,5%.
(Baca: Menanti Reaksi Obat Penguat Rupiah Racikan Pemerintah)