Bukit Asam Beberkan Dua Penyebab Data Ekspor Batu Bara Berbeda
PT Bukit Asam Tbk akhirnya buka suara mengenai perbedaan data ekspor batu bara. Perbedaan data ekspor ini terjadi dalam periode 2014 hingga 2016. Perbedaan ini terjadi untuk ekspor batu bara ke Filipina.
Sekertaris Perusahaan PT Bukit Asam Suherman mengatakan perbedaan data ekspor ini bisa disebabkan dua hal. Pertama, ada penyesuaian nilai secara kualitas batu bara.
Kedua, ada fee atau biaya yang diambil dari pihak ketiga (trader), sehingga nilai ekspor yang tercatat berbeda. “Ini karena untuk penjualan ke Filipina, kami tidak menjual langsung ke end user,” kata kepada Katadata.co.id, beberapa hari lalu.
Sementara itu, menurut Suherman, perusahaannya paling banyak menual ke dalam negeri yakni PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) (Persero). Ada juga penjualan ke pabrik semen dan pupuk.
Untuk ekspor selain Filipina, ada Tiongkok, Jepang, Taiwan, India, Vietnam, Hongkong. Namun, Suherman belum bisa merinci besaran ekspor tersebut. “Akhir bulan ini kami release laporan kuartal III tahun 2018. Tunggu dulu, lagi disiapkan laporannya,” ujar Suherman.
Adapun, perbedaan data ini dirilis Indonesia Corruption Watch (ICW). Berdasarkan data ICW, total volume ekspor Bukit Asam ke Filipina sejak 2014 hingga 2016 mencapai 70.701 ton.
Namun, secara nilai, ekspor yang tercatat di Indonesia dan Filipina berbeda. Di Filipina, nilai ekspor tercatat US$ 4.787.161, sedangkan versi Indonesia hanya US$ 4.524.864.
(Baca: Perbedaan Data Ekspor Batu Bara Buka Celah Korupsi)
Tak hanya itu, International Corruption Watch (ICW) membeberkan dugaan transaksi ekspor batu bara secara total dan bukan cuma Bukit Asam, yang tidak dilaporkan selama 2006 hingga 2016. Di antaranya, Tiongkok US$ 5,3 miliar. Lalu, Jepang US$ 3,8 miliar, Korea Selatan US$ 2,6 miliar, India US$ 2,2 miliar, Thailand US$ 971,4 juta, Taiwan US$ 308,3 juta dan negara lainnya US$ 11,7 miliar.
Secara keseluruhan, nilai indikasi kerugian negara mencapai Rp 133,6 triliun. Perinciannya kewajiban pajak Rp 95,2 triliun dan royalti Rp 38,5 triliun.