Impor Migas Menurun, Neraca Dagang September Surplus US$ 230 Juta
Neraca perdagangan pada September 2018 mencatat surplus sebesar US$ 230 juta. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), surplus tersebut antara lain diakibatkan oleh menurunnya nilai impor pada sektor migas dan nonmigas.
Meski begitu, penurunan angka impor rupanya belum mampu memaksimalkan capaian kinerja neraca dagang, baik untuk periode September 2018 maupun untuk menekan angka defisit perdagangan kumulatif sepanjang Januari-September 2018.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan ekspor pada September 2018 tercatat sebesar US$ 14,83 miliar, turun 6,58% dibandingkan Agustus 2018 dengan capaian US$ 15,87 miliar. Penurunan ekspor terjadi di lini ekspor nonmigas sebesar 5,67% serta ekspor migas anjlok 15,81%.
(Baca: Ekspor RI Menyusut 6,58% di September 2018)
Sementara itu, pada September 2018 nilai impor berhasil ditekan 13,18% menjadi US$ 14,60 miliar, dibandingkan Agustus 2018 yang sebesar US$ 16,82 miliar. Impor nonmigas turun 10,52% disertai impor migas juga mengalami penurunan sebanyak 25,20%.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Yunita Rusanti menyatakan penurunan ekspor dan impor pada bulan lalu banyak terpengaruh oleh situasi global. "Permintaan dunia mengalami penurunan," kata Yunita di Jakarta, Senin (15/10).
BPS mencatat sektor nonmigas masih menjadi penyumbang terbesar terhadap total kinerja ekspor yakni sebesar 91,86%, diikuti sektor migas sebesar 8,14%.
Namun demikian, kinerja ekspor industri pengolahan periode September 2018 mencatat penurunan 7,66% sebesar US$ 10,88 miliar seiring dengan tiurunnya permintaan dibandingkan bulan sebelumnya.
"Pakaian jadi, alas kaki, logam mulia, kimia dasar dan organik, serta peralatan listrik itu turun," ujarnya.
(Baca: Neraca Dagang September 2018 Diprediksi Kembali Defisit US$ 1,5 Miliar)
Penurunan kinerja industri pengolahan di satu sisi justru berbanding terbalik dengan ekspor sektor pertanian yang meningkat 5,46% menjadi US$ 320 juta serta sektor pertambangan yang naik 2,89% menjadi US$ 2,42 miliar. Sedangkan, ekspor migas merosot 15,81% dengan nilai sebesar US$ 1,21 miliar.
Berdasarkan negara tujuan, ekspor nonmigas turun di hampir sebagian besar negara seperti Tiongkok US$ 182,6 juta, Jepang US$ 150 juta dan Singapura US$ 122,8 juta.
Tren Impor
Yunita mengatakan, penurunan impor September menyerupai tren tahun-tahun sebelumnya. Namun, kondisi itu bisa berubah pada bulan berikutnya.
"Impor itu trennya memang menurun pada September 2018, karena pada 2017 dan 2016 demikian. Setelahnya kembali mengalami peningkatan," kata Yunita.
Dirinci menurut golongan penggunaan barang ekonomi, selama September 2018 seluruh golongan barang mengalami penurunan dibanding bulan sebelumnya. Golongan barang konsumsi turun 14,97%, bahan baku/penolong dan barang modal masing-masing turun 13,53% dan 10,45%.
BPS mencatat penurunan impor paling banyak terjadi pada mesin dan peralatan listrik, mesin dan pesawat mekanik, perhiasan dan permata, benda dari besi dan baja, serta ampas atau sisa industri makanan. Berdasarkan negara, pengurangan impor berasal dari Tiongkok, Jepang, dan Australia.
Secara kumulatif, pada Januari hingga September 2018, Indonesia mengalami defisit perdagangan sebesar US$ 3,78 miliar. Nilai paling buruk pada empat tahun terakhir karena pada periode yang sama 2017 surplus US$ 10,86 miliar, tahun 2016 surplus US$ 6,41 miliar, dan 2015 surplus US$ 7,22 miliar.
"Kami harap neraca perdagangan tiga bulan berikutnya bisa positif sehingga bisa menekan defisit," ujar Yunita.
Surplus neraca perdagangan pada September 2018 berada di luar dugaan. Sejumlah kalangan sebelumnya memperkirakan neraca perdagangan September 2018 akan mengalami tren defisit.
Menurut analis, selain dipicu oleh situasi global, defisit neraca dagang juga diperkirakan masih akan terjadi seiring dengan meningkatnya impor minyak dan pangan.
Ekonom Maybank Indonesia Myrdal Gunarto menyatakan neraca dagang September tidak akan bergerak signifikan dibandingkan bulan lalu. “Kelihatannya masih defisit karena impor minyak, pangan, dan bahan baku infrastruktur masih cukup tinggi seperti bulan sebelumnya,” kata Myrdal, Jumat lalu.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira mengatakan neraca perdagangan dalam negeri diperkirakan masih akan mencatat defisit US$ 1 miliar hingga US$ 1,5 miliar pada September 2018.
Menurutnya, ada sejumlah faktor yang menyebabkan neraca dagang RI melemah, seperti imbas situasi perang dagang, melonjaknya nilai impor bbm akibat pelemahan kurs rupiah dan naiknya harga minyak acuan brent pada September sebesar 9%. Adapun impor barang non migas khususnya kategori barang konsumsi juga dipreduksi masih tumbuh.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Perdagangan, Kementerian Perdagangan, Kasan, mengungkapkan bahwa kemungkinan defisit masih akan tetap terjadi, tetapi untuk neraca dagang nonmigas diperkiran bisa surplus. Menurutnya, impor akan mengalami penurunan karena beberapa kebijakan pemerintah seperti PPh impor barang konsumsi dan mandatori B20.