OJK Prediksi Penyaluran Dana P2P Lending Capai Rp 20 Triliun
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memprediksi jumlah pinjaman yang disalurkan oleh perusahaan teknologi finansial peer to peer (P2P) lending hingga akhir tahun ini akan mencapai Rp 18 triliun-Rp 20 triliun. Proyeksi ini berdasarkan realisasi penyaluran pinjaman P2P lending hingga Agustus 2018 yang mencapai Rp 11,7 triliun.
Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan OJK Hendrikus Passagi mengatakan, penyaluran pinjaman melalui skema ini mayoritas masih berasal dari Pulau Jawa, terutama dari Provinsi Jawa Barat dengan nilai sebesar Rp 2,5 triliun. Sedangkan untuk penyaluran pinjaman di luar Pulau Jawa sudah mulai merata.
Data OJK juga menunjukkan jumlah peminjam melalui P2P lending hingga September 2018 sebanyak 1,8 juta orang. “Kami antisipasi sampai akhir tahun ini, peminjam (dari layanan P2P lending) mencapai 3 juta orang,” ujar Hendrikus dalam acara Media Gathering, Bogor, Jumat (19/10).
Jumlah pinjaman yang diberikan memiliki rentang yang cukup jauh, yaitu dari yang terkecil sekitar Rp 5.000 hingga terbesar sekitar Rp 2 miliar. Hendrikus mengatakan, OJK tidak mempermasalahkan rentang pinjaman yang diberikan. OJK lebih fokus pada seberapa banyak penerima pinjaman karena hal itu merupakan esensi dari inklusi keuangan.
OJK mencatat sudah ada 73 perusahaan fintech berbasis P2P lending yang terdaftar per September 2018. Hendrikus percaya, bisnis ini akan terus tumbuh karena ratusan perusahaan masih mengantre untuk masuk daftar tersebut.
"Dari 73 (perusahaan yang terdaftar) tersebut, yang sudah berizin baru satu perusahaan. Dari 72 (perusahaan) sisanya, 17 di antaranya sedang mengajukan proses perizinan," ujarnya.
(Baca: Serbuan Fintech Ilegal Mengepung Indonesia)
Bunga Lebih Tinggi
Industri layanan P2P lending yang makin berkembang ini mampu menjadi alternatif pendanaan bagi masyarakat, terutama bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Untuk itu, OJK terus berusaha untuk memastikan, pinjaman dari P2P lending di Indonesia sehat.
Meski begitu, bunga pinjaman dari layanan tersebut sering menjadi sorotan karena banyak yang menilai terlalu tinggi. Hendrikus menjelaskan, urusan besaran bunga sebenarnya sudah diatur secara transparan oleh perusahaan penyedia pinjaman P2P lending karena berdasarkan perjanjian antara pihak pemberi pinjaman dengan peminjam.
Besarnya bunga pinjaman, sejalan dengan nilai nominal pinjaman, tenor, jaminan, dan seberapa cepat peminjam mendapat pinjaman. "Kalau pinjaman dengan bunga murah, seperti hanya 5%, tidak dijamin 2 minggu dapat (cair),” katanya.
Selain itu, jaminan juga berpengaruh kepada tingkat bunga karena dengan adanya jaminan akan memperkecil risiko gagal bayar dari pihak peminjam. Dengan memberikan jaminan, peminjam pun akan mendapatkan peringkat A untuk kualitas pinjamannya. Sementara jika tidak memberikan jaminan, peminjam bisa mendapatkan peringkat C.
Per Oktober 2018, tingkat bunga untuk peminjam berperingkat A rata-rata sebesar 10% per tahun. Adapun tingkat bunga untuk peringkat C bisa mencapai 40%-50% per tahunnya.
Hendrikus mengatakan, besarnya bunga pinjaman tersebut harus dicermati secara bijak karena memberikan kemudahan pencairan pinjaman jika dibandingkan dengan kredit perbankan. "Kalau dikatakan tingkat bunga di P2P lending ini sedikit lebih tinggi dari kartu kredit, logis kan? Karena kecepatan (pencairannya)," katanya.
(Baca: Tunaiku Tetap Eksis Meski Tak Lagi Terdaftar Sebagai Fintech)