Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Membaik, Jokowi Sentil Prabowo
Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta publik mensyukuri kenaikan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang skornya naik dari 37 menjadi 38 pada 2018. Begitu pula peringkat IPK Indonesia yang naik 7 level ke posisi 89 dari 180 negara di dunia. Kenaikan ini menandakan bahwa pemerintah berkomitmen mengatasi masalah korupsi di Indonesia.
Karenanya, Jokowi menilai tidak tepat jika masalah korupsi di Indonesia disebut sudah sampai ke tahap stadium empat. Pernyataan tersebut pernah disampaikan calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto pada November 2018 lalu.
"Kenaikan-kenaikan tersebut harus disyukuri. Jangan ada yang menyampaikan korupsi (ibarat kanker) stadium empat," kata Jokowi di Jakarta Convention Center, Jakarta, Kamis (31/1).
Ia mengakui, memang sulit untuk bisa mendongkrak IPK Indonesia secara instan. Hanya saja, perbaikan-perbaikan untuk meningkatkan IPK tersebut terus dilakukan.
Salah satunya adalah dengan perbaikan sistem pemerintahan yang lebih akuntabel dan transparan. Alhasil, IPK Indonesia saat ini sudah cukup baik ketimbang beberapa tahun lalu.
Sejak 2014, skor IPK Indonesia sudah naik empat poin dari sebelumnya sebesar 34. Angka ini pun semakin baik jika dibandingkan pada 1998, di mana skor IPK Indonesia saat itu hanya sebesar 20. "Dulu negara kita terkorup di Asia, sekarang bisa masuk ke papan tengah," kata Jokowi.
(Baca: Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2018 Naik Tujuh Peringkat)
Transparency International Indonesia sebelumnya mencatat skor IPK Indonesia pada 2018 naik satu poin menjadi 38 dari skala 0-100 setelah stagnan di skor 37 sejak 2016. Peringkat Indonesia pun naik ke posisi 89 dari 180 negara dibandingkan 2017 yang berada di peringkat 96 dari 180 negara.
"Posisi Indonesia naik tujuh peringkat dari tahun 2017," kata Manajer Departemen Riset Transparansi Internasional Indonesia Wawan Suyatmiko, di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (29/1).
Faktor yang mendorong peningkatan skor Indonesia secara signifikan berasal dari data Global Insight Country Risk Ratings yang naik 12 poin dari 35 ke 47. Menurut Wawan, peningkatan itu disebabkan proses berusaha, perizinan, dan investasi semakin mudah di Indonesia.
Sementara itu, faktor yang stagnan adalah Political Risk Service dengan nilai 50. Hal ini lantaran masih adanya potensi risiko korupsi dalam sistem politik yang belum berubah. Selain itu, ada indikasi relasi yang mencurigakan antara politisi dan pebisnis.
Adapun faktor yang nilainya menghambat IPK Indonesia, yakni IMD World Competitiveness Yearbook. Nilainya turun tiga poin dari 41 ke 38. Faktor ini menjelaskan bahwa suap dan korupsi masih hadir dalam sistem politik Indonesia.
(Baca: Sistem Berbasis Elektronik Dapat Perbaiki Indeks Persepsi Korupsi)