Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2018 Naik Tujuh Peringkat

Dimas Jarot Bayu
29 Januari 2019, 17:11
Peluncuran CPI 2018
Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Sekjen Transparency International Indonesia, Dadang Trisasongko bersama KPK akan meluncurkan Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia Tahun 2018 di gedung KPK Merah Putih, Jakarta (29/1).

Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dirilis Transparency International (TI) untuk tahun 2018 menunjukkan Indonesia naik tujuh peringkat ke posisi 89 dari 180 negara. Faktor yang mendorong perbaikan peringkat IPK Indonesia adalah proses berusaha, perizinan, dan investasi yang semakin mudah di Indonesia.

Manager Riset Transparency International Indonesia Wawan Sujatmiko mengatakan, skor IPK Indonesia pada 2018 naik satu poin menjadi 38 dari skala 0-100 setelah stagnan di skor 37 sejak 2016. Peringkat Indonesia pun naik ke posisi 89 dari 180 negara dibandingkan 2017 yang berada di peringkat 96 dari 180 negara.

Advertisement

"Posisi Indonesia naik tujuh peringkat dari tahun 2017," kata Wawan di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (29/1). Meski demikian, skor Indonesia ini masih di bawah rata-rata skor negara-negara di dunia sebesar 43. TI mencatat ada lebih dari 60% atau 120 dari 180 negara yang skor IPK-nya di bawah 50.

Menurut Wawan, posisi Indonesia ini sama dengan Bosnia dan Herzegovina, Sri Lanka, dan Swaziland. Di Asia Tenggara, Indonesia berada di urutan keempat menyusul Singapura, Brunei Darussalam, dan Malaysia.

Skor IPK Singapura naik satu poin menjadi 85. Skor Brunei juga naik satu poin menjadi 63. Adapun, skor IPK Malaysia stagnan di angka 47. Di bawah peringkat Indonesia, ada Filipina, Thailand, dan Timor Leste. Skor Filipina naik dua poin dari 34 menjadi 36. Skor Thailand turun satu poin dari 37 ke 36. Skor Timor Leste turun tiga poin dari 38 ke 35.

Wawan mengatakan, faktor yang mendorong peningkatan skor Indonesia secara signifikan berasal dari data Global Insight Country Risk Ratings yang naik 12 poin dari 35 ke 47. Menurut Wawan, peningkatan itu disebabkan proses berusaha, perizinan, dan investasi semakin mudah di Indonesia.

Sementara itu, faktor yang stagnan adalah Political Risk Service dengan nilai 50. Hal ini lantaran masih adanya potensi risiko korupsi dalam sistem politik yang belum berubah. Selain itu, ada indikasi relasi yang mencurigakan antara politisi dan pebisnis.

Adapun faktor yang nilainya menghambat IPK Indonesia, yakni IMD World Competitiveness Yearbook. Nilainya turun tiga poin dari 41 ke 38. Faktor ini menjelaskan bahwa suap dan korupsi masih hadir dalam sistem politik Indonesia.

(Baca: ICW: Program Pemberantasan Korupsi Jokowi dan Prabowo Tak Membuat Jera)

Halaman Selanjutnya
Halaman:
Reporter: Dimas Jarot Bayu
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement