Daya Saing Investasi Migas RI Peringkat 25, Terbaik di Asia Tenggara
Daya saing investasi migas Indonesia menduduki peringkat ke-25 dari 131 negara. Peringkat ini berdasarkan laporan dari Petroleum Economics and Policy Solution (PEPS) Global E&P Attractiveness Ranking pada 2018 yang dirilis lembaga penyedia informasi dan analisis global yang berpusat di London, IHS Markit.
Menurut IHS Markit, Indonesia mampu menggenjot aktivitas eksplorasi dan eksploitasi migas di tengah lesunya investasi hulu migas akibat fluktuasi perekonomian global. Indonesia mampu mengungguli negara ekportir minyak seperti Aljazair, Rusia, Mesir. Untuk wilayah Asia Tenggara, Indonesia menjadi negara terbaik dalam daya saing investasi migas. Unggul dari Malaysia yang turun ke posisi ke-35 dari peringkat 23 di 2017.
PEPS melihat bagaimana suatu negara menyajikan informasi, strategi dan manajemen risiko terhadap pengembangan bisnis dan usaha baru di subsektor migas. Selain itu, PEPS juga menganalisa data hukum, model kontrak, sistem fiskal, politik, dan kondisi hulu migas terkini di sebuah negara. Adapun tiga komponen yang menjadi penentu penilaian oleh IHS Markit antara lain aktivitas E&P, rezim fiskal dan risiko migas.
(Baca: Upaya Mendongkrak Investasi Migas yang Anjlok Tiga Tahun Terakhir)
IHS Markit menilai manajemen risiko bisnis migas di Indonesia sudah lebih baik. Transformasi kebijakan berupa penyederhanaan regulasi, mampu menjadi dasar utama dalam melakukan pengelolaan, perencanaan hingga mitigasi atas risiko berbisnis migas.
"Keberlangsungan operasi bisnis migas di Indonesia menjadi salah satu pertimbangan IHS Markit dalam menentukan pemeringkatan tersebut," kata Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar, dalam keterangannya Kamis (14/2).
Arcandra mengatakan penilaian yang diakui oleh lembaga riset global membuktikan pengelolaan sektor migas di Indonesia berhasil mendorong kembali geliat investasi. Ini tak lepas dari upaya perubahan kebijakan fiskal dan kemudahan investasi pada pengusahaan di sektor migas. Pemerintah berhasil memangkas 56 regulasi/perizinan yang menghambat jalannya investasi migas di Indonesia.
Prubahan sistem fiskal bagi hasil gross split yang diterapkan pemerintah menggantikan rezim fiskal sebelumnya, cost recovery, cukup membawa angin bagi investasi migas di Indonesia. Efisiensi dalam sistem gross split menggiurkan para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) migas menggalakkan kegiatan eksplorasi dan ekploitasi.
"Salah satu daya tarik gross split bagi para pelaku usaha migas adalah sistem ini mampu melindungi investor di saat rendahnya harga komoditas minyak dunia," ujarnya. (Baca: Pelaku Industri Tolak Gross Split Jadi Skema Kontrak Tunggal RUU Migas)
Tingginya komitmen Indonesia dalam mereformasi tata kelola migas dibuktikan dengan nilai investasi yang masuk pada tahun 2018 di tengah tantangan harga komoditi global. Aliran investasi sebesar setara Rp 187,5 triliun masuk ke kas negara pada tahun lalu. Jumlah tersebut mengalami peningkatan sebesar USD 1,5 triliun dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu Rp 165 triliun.
Pemerintah mampu mengantongi dana eksplorasi sebesar Rp 31,5 triliun. Sedangkan Bonus Tandatangan (signature bonus) Rp 13,5 triliun yang diperoleh dari 39 kontraktor. Sementara itu, pemerintah juga telah memangkas 56 regulasi yang menghambat jalannya investasi migas.
Kondisi di Lapangan Tak Sesuai Kenyataan
Beberapa kalangan mempertanyakan hasil laporan IHS Markit ini. Mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Ari Soemarno mengatakan kalau penilaian IHS ini bisa dipercaya, maka akan menjadi hal yang bagus bagi Indonesia. Namun, dia dan semua rekannya, para pelaku industri migas merasa kondisi di lapangan dan kenyataannya tidak sesuai dengan laporan ini.
"Makanya saya pertanyakan langsung ke IHS," ujarnya kepada Katadata.co.id.
Bahkan, setelah laporan IHS Markit ini keluar, salah satu konsultan migas internasional terkemuka menerbitkan artikel yang bertolak belakang. Tanpa menyebutkan nama konsultan migas ini, Ari mengatakan artikel tersebut mencatat produksi migas Indonesia akan menurun. Target Satuan Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) tahun ini pun dinilai terlalu optimistis dan sulit untuk dicapai.
(Baca: Target Investasi Hulu Migas Tahun Ini Terancam Gagal Tercapai)