Gaduh e-KTP WNA, Kemendagri Sebut Karena Politisasi Jelang Pilpres
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyebut kegaduhan soal Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) milik warga negara asing (WNA) terjadi karena dipolitisasi menjelang Pileg dan Pilpres 2019. Padahal, ketentuan KTP bagi WNA legal sudah berjalan sejak 2014.
Menurut Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil) Kemendagri Zudan Arif Fakrulloh, pengurusan KTP bagi WNA legal sesuai pasal 63 Undang-Undang 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan. Selama empat tahun ia menjabat, penerbitan e-KTP untuk WNA legal berjalan normal. Setidaknya ada 1.600 KTP bagi WNA legal yang diterbitkan sejak 2014.
"Saya (menjabat) empat tahun, baru satu yang ribut. Mungkin karena dekat Pileg dan Pilpres," kata Zudan saat konferensi pers di kantornya, Jakarta, Rabu (27/2).
Hal ini disampaikannya untuk menyikapi beredarnya foto e-KTP warga negara Tiongkok bernama Guohui Chen di media sosial. Dalam informasi yang beredar, disebutkan bahwa Chen masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Kabupaten Cianjur.
Zudan menjelaskan, masuknya Chen ke dalam DPT Kabupaten Cianjur terjadi akibat kesalahan input Nomor Induk Kependudukan (NIK) Chen oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kabupaten Cianjur. Hal ini telah diakui KPUD Cianjur.
Dalam DPT Pemilu yang ditetapkan KPU, NIK 3203012503770011 milik Chen malah digunakan Warga Negara Indonesia (WNI) bernama Bahar. Padahal NIK Bahar bernomor 3203011002720011 dan diterbitkan Oktober 2018. "Jadi yang keluar data Saudara Bahar, tapi NIK punya Chen," kata Zudan.
Menurut Zudan, sesuai pasal 63 UU 24 Tahun 2013, WNA yang memiliki izin tinggal tetap dan telah berumur 17 tahun atau telah dan pernah menikah wajib memiliki e-KTP. Sedangkan dalam pasal 64, masa berlaku e-KTP WNA disesuaikan masa berlaku izin tinggal tetap.
Pemberian e-KTP bagi warga asing ini untuk beberapa hal, seperti keamanan hingga pelayanan publik seperti membuat rekening bank hingga Surat Izin Mengemudi (SIM) internasional. Meski demikian, dia memastikan WNA yang memiliki e-KTP tidak boleh ikut mengikuti kontestasi politik di Indonesia. "Mereka tidak bisa memilih, sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (tentang Pemilu)," kata Zudan.
Mengecek Keaslian Identitas Pemilih
Sebenarnya untuk mengantisipasi masalah DPT, Dukcapil telah memberikan akses kepada KPU untuk memeriksa keaslian identitas pemilih. "Jadi kalau mereka ragu (identitas) asli atau palsu dapat mengecek database (Dukcapil)," ujar Zudan.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menganggap viralnya kabar e-KTP WNA yang bisa digunakan untuk memilih merupakan kabar bohong (hoaks) sehingga kasus ini dibawa ke Kepolisian. Foto e-KTP yang beredar melalui media sosial itu diduga palsu karena tidak ada kesesuaian antara identitas diri dengan NIK yang tertera di kartu tersebut. "Ternyata NIK 3203012503770011 atas nama Bahar," kata Komisioner KPU Viryan Azis, Selasa (26/2).
Dia mempersilakan polisi untuk bisa mendalami kebenaran foto e-KTP milik Chen yang tersebar di media sosial. "Kami laporkan kepada Cyber Crime Mabes Polri agar ditelaah lebih dalam. Apakah foto tersebut hasil editan atau bukan," kata Viryan.