Inalum Nilai Cadangan Emas Freeport Bakal Lampaui Tahun 2051
PT Freeport Indonesia memperkirakan cadangan emas dan tembaga akan habis pada 2051. Namun, Head of Mining and Mineral Anthusiast Inalum Ratih Amri memperkirakan cadangan emas dan tembaga akan melampaui 2051.
“Kalau cadangan, kami yakin masih akan ada kok. Kami yakin akan melampaui dari masa berlakunya,” kata dia kepada Katadata.co.id di Jakarta, Kamis (28/2).
Akan tetapi, ia menilai harus ada proses eksplorasi lebih lanjut guna memenuhi data cadangan emas dan tembaga. Dengan eksplorasi, Ratih meyakinkan ketersediaan cadangan masih aman.
(Baca: Cadangannya 1,8 Miliar Ton, Tambang Freeport Bisa Produksi hingga 2051)
Direktur Utama Freeport Indonesia Tony Wenas kepada awak media di Jakarta, Rabu (27/2) mengatakan saat ini Freeport memiliki cadangan terbukti sekitar 1,8 miliar ton mineral. Dengan laju penambangannya sekitar 150 ribu ton per hari maka masa produksi hingga 2051 atau tersisa 32 tahun. Sementara Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dari pemerintah akan habis pada 2041.
Perusahaan saat ini sedang mengembangkan produksi tambang dari terbuka (open pit) menjadi di bawah tanah (underground). Tambang terbuka milik Freeport, menurut Tony, sudah terlalu lebar dan dalam. Kondisi itu tidak aman dan dibutuhkan nilai investasi lebih mahal untuk tetap berproduksi.
"Lebarnya empat kilometer dan 1,2 kilometer. Kami selanjutnya akan melakukan penambangan sepenuhnya di bawah tanah," ujarnya.
(Baca: Inalum Sebut Dua Keuntungan dari Akuisisi Freeport)
Akibat perubahan metode penambangan itu, pada 2019 total produksi Freeport akan sebesar 1,2 juta ton atau lebih kecil dari 2018 yang mencapai 2,1 juta ton. Sebanyak 200 ribu ton akan menjadi komoditas ekspor. Sisanya, yaitu satu juta ton akan dikirim ke pabrik pengolahan dan pemurnian alias smelter di PT Smelting, Gresik, Jawa Timur.
Pendapatan Freeport juga berdampak. Tahun lalu perusahaan mencatat sekitar US$ 6,5 miliar (sekitar Rp 91 triliun). Angka itu menurun setengahnya pada proyeksi pendapatan 2019, menjadi US$ 3,1 miliar (Rp 43 triliun).