Soal Sawit, Pemerintah Akan Lobi Uni Eropa Bulan Depan
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, Indonesia akan mengambil sikap tegas terkait putusan antiminyak sawit oleh Komisi Uni Eropa. Putusan tersebut merupakan bagian dari kebijakan energi terbarukan (Renewable Energy Directive II/RED II).
“Kami sudah mencoba berunding, menjelaskan, lobi, tapi kelihatannya mereka jalan terus. Kami akan mengambil langkah yang lebih keras,” kata dia di kantornya, Jakarta, Jumat (15/3).
Ia mengatakan, pemerintah Indonesia dan Malaysia akan berkunjung ke Eropa pada April minggu kedua 2019. Dua negara ini merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia.
Pemerintah akan memanfaatkan jeda waktu menunggu pengesahan keputusan di parlemen untuk menyampaikan keberatan. Darmin mengatakan, pengusaha kelapa sawit Indonesia juga akan ikut dalam negosiasi itu untuk mendukung pemerintah.
(Baca: Negara Produsen Sawit Khawatirkan Diskriminasi Uni-Eropa Melalui PBB)
(Baca: Gapki: Volume Ekspor Sawit 32,02 Juta Ton Sepanjang 2018)
Uni Eropa, menurut dia, telah bertindak diskriminatif. Secara sepihak minyak sawit dinyatakan sebagai produk tidak berkelanjutan atau tak ramah lingkungan. Hal itu tertuang dalam Delegated Act RED II yang dibuat oleh Uni Eropa. Ini artinya, penggunaan CPO (crude palm oil) atau minyak sawit sebagai bahan bakar kendaraan bermotor akan dihapus di sana.
Pemerintah Indonesia belum bisa membawa masalah ini ke tingkat Mahkamah Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) karena parlemen belum mengesahkan aturan itu. “Jadi belum ada langkah konkret," ujar Darwin.
Komisi Uni-Eropa nantinya akan mengajukan Delegated Act itu kepada Parlemen Uni-Eropa. Kemudian, parlemen memiliki waktu dua bulan untuk memutuskan menerima atau menolak aturan tersebut.
(Baca: Indonesia Tolak Keputusan Uni-Eropa Terkait Aturan Anti-Sawit)
Sebelumnya, International Union for Conservation of Nature (IUCN) menyebut pelarangan kelapa sawit justru berpotensi menyebabkan deforestasi. Penyebabnya, mengganti sawit dengan tanaman penghasil minyak nabati lain justru membutuhkan lebih banyak lahan. Dalam proses produksinya, minyak kelapa sawit merupakan produk minyak nabati paling efisien dibandingkan bunga matahari, kedelai, dan rapeseed.
Lembaga internasional asal Swiss itu mengatakan, per 0,26 hektare lahan sawit mampu menghasilkan satu ton minyak sawit. Hal ini berbanding terbalik dengan bunga matahari yang memerlukan hingga 1,43 hektare lahan untuk menghasikan jumlah yang sama.
Demikian halnya dengan rapeseed yang menghasilkan minyak rapa membutuhkan 1,25 hektare lahan per ton minyak nabati. Lalu, kacang kedelai perlu hingga 2 hektare lahan untuk menghasilkan satu ton minyak nabati.