Pengusaha Siap Batasi Ekspor Karet dengan Fleksibilitas 10% dari Kuota
Eksportir karet alam dalam negeri siap mengikuti skema pembatasan ekspor (AETS) sebagaimana yang tercantum dalam isi kesepakatan International Tripartite Rubber Council (ITRC). Tiga negara produsen karet terbesar dunia sepakat membatasi ekspor mencapai 240 ribu ton selama empat bulan ke depan, terhitung mulai 1 April hingga 31 Juli 2019.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) Moenardji Soedargo menyatakan siap mendukung efektivitas AETS sesuai kesepakatan ketiga negara. "Karena ini diatur oleh pemerintah, maka tentu kami harus jalankan," kata Moenardji kepada Katadata.co.id, Senin (4/1).
Moenardji mengungkapkan pelaksanaan AETS akan memberikan pengaruh positif terhadap harga karet alam secara global. "Seperti (penurunan harga) yang telah terjadi sejak Desember, saat beberapa kali rencana AETS ini sudah dinyatakan sebagai langkah yang akan ditempuh," ujarnya.
(Baca: Indonesia Berkomitmen Batasi Ekspor Karet Sebesar 98.160 Ton)
Berdasarkan skema AETS, Indonesia akan membatasi ekspor karet sebanyak 98.160 ton diikuti Thailand sebesar 126.240 ton, dan Malaysia 15.600 ribu ton. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita telah mengeluarkan Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 779 Tahun 2018 tentang pelaksanaan AETS untuk komoditas karet alam.
Aturan itu mencantumkan potensi alokasi ekspor karet alam Indonesia periode 1 April sampai 31 Juli 2019 sebanyak 941.790 ton dengan perincian ekspor April 256.863 ton, Mei 245.015 ton, Juni 173.880 ton, dan Juli 266.033 ton.
Namun, pasal keempat aturan itu menentukan pelaksanaan ekspor diberikan fleksibilitas paling tinggi 10% sehingga eksportir karet harus memperhatikan alokasi jumlah ekspor dalam jangka waktu empat bulan. Gapkindo pun wajiab menyampaikan laporan tertulis paling lambat setiap tanggal 15 pada bulan berikutnya kepada Menteri Perdagangan melalui Dirjen Perdagangan Luyar Negeri.
Jika eksportir melanggar aturan pelaksanaan AETS, mereka bakal terkena sanksi sesuai perundang-undangan. Namun, aturan itu hanya berlaku hanya sepanjang periode pembatasan ekspor.
Sebelumnya, Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP) Kasan menjelaskan komposisi produksi karet ketiga negara itu mencapai 52,6% untuk Thailand, 40,9% dari Indonesia, dan 6,5% Malaysia. Jika Malaysia dan Indonesia mulai melaksanakan pembatasan per 1 April, lain halnya dengan Negeri Gajah Putih yang baru mengimplementasikan pada medio 20 Mei sampai 20 September 2019.
Kasan mengatakan, pelaksanaan pembatasan ekspor karet yang berbeda dari Thailand tidak akan memengaruhi efektivitas AETS. Sebab, perhitungan pembatasan tetap sama untuk mempengaruhi jumlah ekspor ketiga negara dalam setahun. "Thailand sedang dalam masa pemilihan umum, mereka minta waktu untuk persiapan," ujarnya.
(Baca: Begini Strategi Kementan Naikkan Harga Karet)
Dia menambahkan, implementasi AETS di Indonesia bakal berlaku atas dasar Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 779 Tahun 2019 tentang penugasan ekspor kepada Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo). Dengan kebijakan itu, harga karet alam Tanah Air diharapkan bisa mencapai US$ 2 per kilogram.
Skema AETS merupakan upaya ketiga negara produsen karet terbesar untuk memperbaiki harga karet secara global. Karena, harga karet alam sempat jatuh hingga menyentuh angka US$ 1,21 per kilogram hingga bulan November 2018. Namun, harga jual mulai perlahan naik setelah ada pembahasan pembatasan ekspor sejak Desember menjadi US$ 1,4 per kilogram hingga sekarang.
Kasan mengungkapkan, upaya perbaikan harga juga menjadi salah satu solusi agar petani karet mendapatkan harga yang baik. Implementasi AETS tahun 2019 merupakan yang keenam sejak 2002, 2008, 2012, 2016, dan 2018. "Implementasi skema AETS keenam bakal kami monitor dan evaluasi setiap bulan bekerja sama dengan ITRC," katanya.