Ekspor Pertanian, Kayu dan Tekstil Bakal Tergerus Jika GSP Dicabut AS
Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal menyebut, komoditas ekspor unggulan Indonesia akan terkena dampak jika fasilitas pengurangan bea masuk atau Generalized Systems of Preference (GSP) dicabut oleh Amerika Serikat (AS).
Pasalnya, fasilitas GSP yang sudah dinikmati oleh Indonesia sejak 2011 ini telah berperan penting mendorong ekspor komoditas unggulan Indonesia ke AS.
"Produk-produk yang diafirmasi GSP berasal dari sektor pertanian, perkayuan, tekstil, dan alas kaki. Itu komoditas unggulan ekspor kita," kata dia kepada katadata.co.id, Rabu (19/6).
Oleh karena itu, ia menilai jika GSP dicabut oleh AS maka akan membawa dampak negatif terhadap keseluruhan ekspor Indonesia. Namun, Fithra belum memperhitungkan besaran dampak negatif tersebut.
Saat ini, Fithra menilai Indonesia masih memiliki peluang dalam menegosiasi perpanjangan GSP dengan AS. "Yang jadi poin utama itu negosiasi tarif hortikultura untuk AS. Sistem GPN juga menjadi konsentrasi mereka," ujarnya.
(Baca: Setelah India, Fasilitas Dagang untuk Indonesia Berpotensi Dicabut AS)
Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, saat ini, ada 718 jenis produk yang mendapatkan GSP dengan nilai US$ 2,2 miliar. Nilai itu sekitar 10% dari ekspor Indonesia.
"Yang paling besar adalah perhiasaan, kabel elektronik, kimia, sarung tangan dan alat musik," ujarnya.
Sekadar info, GSP merupakan program AS untuk mendorong pembangunan ekonomi negara berkembang dengan membebaskan bea masuk sejumlah produk dari negara tersebut, termasuk Indonesia.
Pada April 2018, Kementerian Perdagangan AS melakukan peninjauan pemberian GSP kepada Indonesia, India, dan Kazakhstan. Pada 5 Juni 2019 lalu, AS telah memutuskan GSP dengan India.
Bila fasilitas GSP Indonesia dicabut, produk Indonesia yang memanfaatkan GSP akan dikenakan bea masuk dengan tarif normal.
(Baca: Kemendag Harap AS Tak Cabut Fasilitas Dagang RI Setelah India)