Reportase: Kisah Nelayan Jadi Kuli Limbah Minyak Blok ONWJ di Karawang

Image title
30 Agustus 2019, 11:35
tumpahan minyak, blok ONWJ, nelayan di karawang, kompensasi
Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Sejumlah nelayan usai mengambil tumpahan minyak Pertamina ONWJ di laut, Pasir Putih, Karawang (20/8).

Puluhan kapal warna warni bersandar di dermaga Desa Pasir Putih, Kabupaten Karawang, Jawa Barat pada Selasa pagi pekan lalu. Tak ada satu pun nelayan yang  pulang dari melaut. Padahal cuaca cerah dan angin tak begitu kencang di saat pagi, merupakan saat yang tepat buat para nelayan mengejar hasil tangkapannya di laut.

Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di desa yang terkenal sebagai penghasil rajungan itu pun tanpa transaksi jual beli ikan dan hasil tangkapan laut lainnya. Saat katadata.co.id mengunjungi TPI, hanya terdapat beberapa bangku dan meja kosong.

Desa nelayan seolah mati suri sejak minyak dan gas menyembur dari Blok North West Java (ONWJ) pada 12 Juli lalu. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat tragedi tumpahan minyak ini mencemari tiga provinsi, 7 kabupaten, 22 kecamatan dan 57 desa. Hingga akhir Agustus, korban pencemaran yang sebagian besarnya nelayan sebanyak 14.655 jiwa.

Para nelayan kehilangan pekerjaan karena tumpahan minyak mencemari wilayah tangkap mereka. Alih-alih membawa ikan dan tangkapan laut, para nelayan tampak mengangkut limbah tumpahan minyak dari laut. PT Pertamina Hulu Energi sebagai pengelola Blok ONWJ merekrut mereka untuk membersihkan laut dan pantai dari limbah minyak.

(Baca: Menteri Susi: Tumpahan Minyak di Blok ONWJ Pelajaran untuk Pertamina)

Agus (62) salah satu nelayan rajungan dari Desa Pasir Putih yang bekerja sebagai kuli pengangkut minyak. Pekerjaan kuli pengangkut minyak ini mirip dengan yang dikerjakan nelayan. Agus dan teman-temannya sebelum menangkap minyak mendapatkan intruksi, seperti kawasan untuk mencari limbah minyak yang tercecer. Kemudian  mereka berangkat ke laut dengan menggunakan kapal ikan untuk mencari limbah minyak yang tercecer.  

Selama dua jam melaut, Agus membawa puluhan karung yang berisikan air laut yang tercemar minyak. Karung-karung tersebut kemudian dibawa ke darat dan dikumpulkan dalam sebuah wadah berukuran 10 x 8 meter yang disediakan Pertamina.

Agus terpaksa menjadi kuli pengangkut minyak karena tak ada pilihan. "Ini pekerjaan mendadak, daripada saya menganggur," kata Agus, Selasa (20/8).

Limbah Minyak di Pantai Karawang
Limbah Minyak di Pantai Karawang (Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA)

Nelayan yang sudah menggeluti pekerjaannya selama 42 tahun silam, mendadak kesulitan menangkap rajungan dan hasil tangkap lainnya setelah tragedi tumpahan minyak Blok ONWJ-Pertamina. "Hasil tangkapnya berkurang drastis sejak ada pencemaran," kata Agus.

Bahkan, bukan hasil tangkap yang diperoleh para nelayan, justru minyak mentah yang mereka dapatkan. Minyak yang tak bisa menyatu dengan air acap kali tersangkut di jaring-jaring mereka.

Mereka pun hanya dapat membawa 1-2 kilogram dan di antaranya dengan kondisi hewan yang mati atau keracunan minyak. “Tak bisa dijual,” kata Agus.

Padahal saat situasi normal, Agus yang bekerja dengan 4 anak buah kapal dapat menangkap ikan tongkol dan rajungan hingga 30 kilogram per harinya. Harga jual rajungan sekitar Rp 60 ribu-70 ribu per kilogram. Setelah dipotong semua biaya operasi dan bagi hasil ke anak buah kapal, Agus membawa uang ke rumah minimal Rp 250 ribu per hari.

Pendapatan sebagai kuli limbah pun jauh di bawah penghasilannya sebagai nelayan. Upah kuli limbah sebesar Rp 120 ribu per hari. Dalam seminggu, dia hanya mendapat jatah bekerja tiga kali atau total pendapatannya Rp 360 ribu per minggu.

(Baca: Walhi Kritik Cara Pertamina Tangani Tumpahan Minyak Blok ONWJ)

Selain pendapatan yang minim, Agus juga khawatir dengan dampak pekerjaannya mengangkut limbah minyak. Saat mengangkut minyak, Agus dilengkapi Alat Pelindung Diri (APD). Namun, dia tidak pernah mendapatkan penjelasan dampak kesehatan apabila pekerjaan ini ia lakukan terus-menurus.

Nelayan lainnya, Ganda (42) juga menyatakan terpaksa menjadi kuli limbah karena tak ada pilihan lain. Gandda juga merasakan penghasilan sebagai kuli limbah minyak, tak bisa menutupi kebutuhan sehari-hari. Padahal dulu ia bisa mendapatkan ikan 10 kg per hari dengan nilai sekitar Rp 600 ribu.

"Lebih banyak penghasilan sebagai nelayan. Tapi kan ikannya juga sudah tidak ada karena limbah. Jadi kosong tidak ada pemasukan," katanya.

Halaman:
Editor: Yuliawati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...