Efek Perang Dagang bagi Ekonomi RI, Lebih Besar dari AS atau Tiongkok?

Image title
9 September 2019, 19:17
pertumbuhan ekonomi, bank mandiri
Dilok Klaisataporn/123RF.com
Ilustrasi. Bank Mandiri memproyeksi setiap perlambatan 1% ekonomi Tiongkok berdampak 0,1% ke ekonomi Indonesia.

Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok terus mengalami pasang surut. Meski saat ini tensinya tengah mereda, dampak terhadap perlambatan perekonomian global diperkirakan akan berlanjut hinga tahun depan.

Lalu bagaimana dampaknya dengan ekonomi Indonesia?

Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada tahun depan akan melambat, terlepas dari ada atau tidak sentimen perang dagang. Namun, ia memperkirakan Amerika Serikat (AS) tak akan mengalami resesi ekonomi seperti yang dikhawatirkan banyak pihak.

"Tantangannya, 70 negara tujuan ekspor Indonesia tengah melambat, ini tentu akan berpengaruh ke harga komoditas dan neraca perdagangan," ujar Andry di Jakarta, Senin (9/9).

Andry menjelaskan, Tiongkok dan AS masuk dalam tiga besar tujuan ekspor Indonesia. Kontribusinya jika digabung mencapai sekitar 25% terhadap total ekspor Indonesia.

"Kalau ekonomi Tiongkok turun 1%, dampaknya ke Indonesia sekitar 0,09% hingga 0,1%. Sedangkan kalau ekonomi AS turun 1%, dampaknya ke kita sekitar 0,07-0,08%," terang dia.

 (Baca: Ekonomi Jepang Tumbuh Melambat Terseret Perang Dagang AS-Tiongkok)

Tahun ini, menurut dia, perlambatan ekonomi global telah berdampak pada harga minyak kepala sawit (Crude Palm Oil/ CPO) yang turun dari US$ 556 per ton pada 2018 menjadi hanya sekitar US$ 500 per ton di tahun ini. Harga batu bara dalam negeri yang sempat menyentuh US$ 88,3 per ton pada 2018 juga turun ke kisaran US$ 65 per ton pada 2019.

Meski harga komoditas yang menjadi salah satu penopang ekonomi Indonesia turun signifikan, ia menyebut perekonomian Indonesia masih tumbuh cukup baik di kisaran 5%. Kondisi ini, menurut dia, lebih mujur dibanding negara-negara emerging market lainnya, terutama Turki yang tengah mengalami resesi.

Selain itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2019 juga masih lebih tinggi dari Malaysia sebesar 4,9%, Thailand 3,7%, Brazil 1,01%, dan Rusia 0,9%.

Direktur Keuangan Bank Mandiri Panji Irawan juga menilai ekonomi Indonesia masih lebih stabil dibanding negara berkembang lainnya. Selain itu, kurs rupiah juga stabil di kisaran Rp 14.200 per dolar AS dan inflasi berhasil terjaga di bawah 3,5%.

Meski demikian, ia tak menampik perang dagang AS dan Tiongkok dapat berdampak negatif pada perekonomian Indonesia ke depan.

(Baca: Bank Dunia Peringatkan Risiko Aliran Modal Asing Kabur dari Indonesia)

Sebelumnya, Bank Dunia memperkirakan perlambatan global akan menekan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun depan hingga 2020 mendatang. Lembaga multilateral ini bahkan memproyeksi ekonomi Indonesia pada 2020 hanya akan mencapai 4,9% dan makin melambat ke kisaran 4,6% pada 2022.

Proyeksi pertumbuhan ekonomi tersebut jauh dari proyeksi pemerintah dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) yang diproyeksi mencapai 5,3%. Pemerintah bahkan mematok target pertumbuhan ekonomi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) pada 2022 berkisar antara 5,4-5,9%.

Menurut Bank Dunia, perekonomian Indonesia akan terus melambat akibat produktivitas yang rendah dan melambatnya pertumbuhan tenaga kerja. Perlambatan ekonomi global akibat perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok yang mempengaruhi harga komoditas akan semakin melukai pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Bank Dunia memproyeksi dampak penurunan pertumbuhan ekonomi Tiongkok sebesar 1% terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 0,3%. Sementara pada resesi global pada 2009, pertumbuhan ekonomi global yang turun 6,2% sejak 2007 membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat 1,7%.

Editor: Agustiyanti

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...