Pengesahan UU KPK Dinilai Berpotensi Turunkan Minat Investasi
Peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang baru disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kemarin, dapat menurunkan minat investasi di dalam negeri. Alasannya, pengesahan UU KPK berpotensi melemahkan kerja KPK sebagai lembaga penegak hukum.
Enny mengatakan, penegakan hukum merupakan salah satu indikator yang memberikan kepastian usaha bagi para investor sebelum menanamkan modal di Indonesia. Hal ini sebagaimana tercantum dalam laporan peringkat Ease of Doing Business (EoDB) yang dirilis Bank Dunia.
"Yang paling penting itu kepastian berinvestasi. Bagaimanapun daya tarik Indonesia dengan market yang sangat besar, tapi ketika tidak ada kepastian, bagaimana (investor) mengakumulasi usahanya?" kata Enny di Bakoel Koffie, Jakarta, Rabu (18/9).
(Baca: UU KPK Direvisi, ICW Ramal Pemberantasan Korupsi di Masa Depan Suram)
Enny mengatakan, kinerja KPK selama ini cukup baik. Berbagai upaya penindakan yang dilakukan KPK menurutnya mampu memberikan efek kejut terhadap eksekutif dan legislatif yang melakukan korupsi.
Hal tersebut kemudian memberikan efek jera atau ketakutan bagi pihak-pihak yang ingin melakukan praktik korupsi ke depannya. "Orang akan berpikir berkali-berkali lipat untuk bermain-main dan melakukan abuse of power," kata Enny.
Namun, dengan revisi UU KPK yang baru disahkan, dia menilai kinerja komisi antirasuah tersebut akan melemah. Sebab, penyadapan KPK nantinya harus seizin Dewan Pengawas.
Selain itu, dia khawatir jika Dewan Pengawas yang dibentuk nantinya tidak independen. Ini lantaran pemilihan Dewan Pengawas langsung dilakukan oleh Presiden.
Jika penegakan hukum yang dilakukan KPK melemah, bukan tidak mungkin hal tersebut dapat memunculkan ketidakpastian dalam investasi. "Jadi ini bukan perkara sederhana. Ini bukan sekadar penguatan atau pelemahan KPK, tapi bagaimana dampak dari revisi UU ini terhadap perekonomian punya impact langsung," ujarnya.
(Baca: Sahkan UU KPK, Janji Nawacita Jokowi Dinilai Tak Terbukti)
UU KPK disahkan DPR dalam rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (17/9), kendati hanya dihadiri 102 anggota dewan, berdasarkan skema hitung kepala (headcount).
Angka itu semestinya tidak mencapai kuorum untuk bisa menggelar rapat paripurna. Sebab, rapat paripurna baru bisa dimulai jika jumlah anggota dewan yang ikut sebanyak 50% plus satu. Artinya, harus ada 281 orang yang ikut hadir dalam rapat paripurna.
Meski demikian, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah yang memimpin rapat paripurna menyatakan jumlah anggota dewan yang hadir sudah kuorum. Menurut Fahri, berdasarkan daftar presensi dari Sekretariat Jenderal DPR, jumlah anggota dewan yang hadir sudah sebanyak 289 orang.
“Oleh karena itu kuorum telah tercapai dan dengan mengucap bismillah perkenankanlah kami pimpinan dewan membuka rapat (paripurna) ini," kata Fahri.
Dalam rapat paripurna, ada tujuh fraksi menyatakan sepakat atas pengesahan RUU KPK. Ketujuhnya antara lain PDIP, Golkar, Nasdem, PKB, PPP, Hanura, dan PAN.
Memang ada catatan yang diberikan oleh tiga fraksi lainnya, yakni Gerindra, PKS, dan Demokrat. Ketiganya mempersoalkan mengenai mekanisme pemilihan anggota dewan pengawas langsung oleh Presiden.
Mesk begitu, hal itu tidak mempengaruhi kesepakatan DPR atas pengesahan perubahan payung hukum terhadap komisi antirasuah. "Saya ingin menanyakan apakah pembacaan tingkat II pengambilan keputusan ruu kpk dapat disahkan menjadi UU?” Kata Fahri.
"Sepakat,” seru para anggota dewan yang hadir.
Adapun, pemerintah dan DPR hanya membahas RUU KPK tiga kali sebelum akhirnya dibawa ke sidang paripurna dan disahkan. Rapat kerja itu dimulai pada Kamis (12/9). Rapat kemudian berlanjut pada Jumat (13/9) malam.
Pada Senin (16/9), pemerintah dan DPR sudah mengesahkan RUU KPK itu di tingkat I untuk kemudian dilanjutkan ke sidang paripurna.