Indef Sebut Unicorn Berpotensi Tingkatkan Pengangguran

Cindy Mutia Annur
15 Oktober 2019, 07:00
Startup, Unicorn
Kominfo
CEO Go-Jek Nadiem Makarim berfoto bersama CEO Traveloka Ferry Unardi, CEO Tokopedia William Tanuwijaya, dan CEO Bukalapak Achmad Zaky, Kepala BKPM Thomas Lembong, dan Menteri Kominfo Rudiantara. Gojek, Traveloka, Tokopedia, dan Bukalapak merupakan unicorn asal Indonesia.

Perusahaan rintisan (startup) dengan status unicorn memiliki valuasi US$ 10 miliar berpotensi menghilangkan lapangan pekerjaan apabila likuiditas atau prospek bisnisnya menurun. Hal tersebut juga bakal berdampak sistemik pada perekonomian nasional.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudistira menjelaskan banyak tenaga kerja yang bergantung pada startup e-commerce atau transportasi online.  Apabila likuiditas perusahaan menurun hingga bangkrut, maka para pekerja yang bergantung pada perusahaan-perusahaan di sektor digital itu bakal menjadi pengangguran.

"Dampaknya cukup sistemik kepada tingkat pengangguran negara nantinya," ujar Bhima saat dihubungi Katadata, Senin (14/10).

Bhima melanjutkan, sudah ada tanda-tanda permasalahan pada keuangan perusahaan unicorn. Ia mencontohkan Bukalapak yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Mayoritas pegawai Bukalapak yang diputus pekerjaannya merupakan bagian pelayanan pelanggan (customer service). Padahal jika perusahaan semakin besar dan konsumennya semakin banyak, jumlah customer service seharusnya ditambah bukan dikurangi.

"Jadi ada beberapa tanda yang menunjukkan bahwa tingkat kesehatan di unicorn menurun," ujarnya.

(Baca: Chatib Basri Peringatkan Unicorn Menimbulkan Risiko Sistemik Ekonomi)

Lebih lanjut Bhima mengatakan banyak startup unicorn yang disuntik modal investor asing dari negara yang tengah mengalami perlambatan ekonomi, seperti Jepang, Amerika Serikat (AS), negara-negara di Eropa, hingga Tiongkok. "Ini berimbas kepada suntikan modal untuk bakar uang kepada startup di Indonesia. Sedangkan, mereka saat ini banyak yang bisa bertahan dengan posisi merugi, bisa bertahan dengan suntikan investor asing tersebut. Sehingga itu perlu diantisipasi," ujarnya.

Bhima melanjutkan, startup unicorn yang kerap melakukan 'bakar uang' tidak mendapatkan untung. Startup tersebut justru 'bakar uang' dengan harapan mendapat investor untuk mendanai perusahaan mereka.

Namun, jika terjadi resesi ekonomi dan modal ventura yang membiayai startup terkena dampaknya, maka sistem 'bakar uang' pun bakal berhenti. "Ini mengakibatkan bubble technology seperti di AS tahun 2000. Akhirnya banyak startup yang tidak bisa bertahan dan akhirnya collapse. Jadi cara itu memang tidak sehat," ujarnya.

Di sisi lain, ada sektor yang tidak terkena dampak sistemik dari buruknya kinerja startup unicorn. Salah satunya adalah sektor keuangan. Pasalnya, masih sedikit perbankan yang memberikan pembiayaan kepada startup unicorn.

Begitu juga sektor pasar modal. Sebab, belum ada unicorn yang melantai di bursa saham atau melaksanakan initial public offering (IPO).  

Dilansir dari Databoks, pendanaan dari investor yang masuk ke ekonomi digital kawasan Asia Tenggara (ASEAN) sepanjang semester I 2019 mencapai US$ 7,6 miliar atau setara Rp 106 triliun. Dari jumlah dana tersebut, yang masuk ke unicorn mencapai US$ 5,1 miliar atau sekitar 67% dari total pendanaan. Berikut grafik pendanaan unicorn  di kawasan ASEAN selama semester I 2019 :

Lebih lanjut Bhima menyarankan tiga hal kepada pemerintah untuk menghindari terjadinya dampak sistemik dari buruknya kinerja startup atau unicorn. Pertama, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) maupun Bank Indonesia (BI) disarankan untuk mengawasi investasi asing di sektor digital.

"Apabila ada gejala penurunan yang cukup tajam, maka harus degera dikoordinasikan dengan pemerintah," ujarnya. Selain itu, ia juga menyarankan agar pemerintah mengawasi investasi sektor digital lebih ketat dari sebelumnya.

Kedua, mencegah terjadinya pengangguran yang meningkat secara signifikan. Dari sisi pemerintah, menurutnya, perlu menyiapkan lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya.

"Kalau ada perusahaan ojek online yang tutup, lalu jutaan driver-nya menjadi pengangguran, maka pemerintah harus menyerap mereka ke sektor lain," ujarnya.

Ia mencontohkan, program kartu Pra-Kerja Presiden Joko Widodo dapat mengantisipasi terjadinya pengangguran bagi para pekerja.

Halaman:
Reporter: Cindy Mutia Annur
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...