Optimalisasi Hutan Desa untuk Pemberdayaan Ekonomi Lokal dan Melindungi Hutan
Indonesia tercatat sebagai negara yang berhasil melindungi hutan dibandingkan dengan negara tropis lainnya. Pujian itu tertuang dari data dari University of Maryland yang dirilis pada 27 Juni 2018 oleh lembaga riset World Resources Institute pada Oslo Tropical Forest Forum. Tentu ini merupakan kabar baik hasil dari pengelolaan hutan yang dilakukan selama ini.
Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup Bambang Supriyanto menjelaskan pemerintah telah membuat program pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat yakni Program Perhutanan Sosial. Target kawasan hutan untuk program ini seluas 12,7 juta hektare yang awalnya dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo untuk selesai pada 2019. Capaian akses kelola Hutan Sosial per 28 Juni 2019 sudah mencapai 3.133.847,19 ha, dengan total surat keputusan (SK) sebanyak 5.756 unit SK yang diberikan kepada 691.737 kepala keluarga.
“Masih ada 9,5 juta hektar yang perlu kita dorong, namun kita juga perlu menjaga kualitas bukan hanya kuantitasnya saja,” kata Bambang. Upaya menjaga kualitas dilakukan dengan pendampingan, agar akses hutan yang diberikan dapat membawa kemanfaatan ekologi (tutupan hutan meningkat), sosial (konflik tenurial menurun), dan ekonomi (pendapatan masyarakat naik).
Ada lima skema dalam program ini. Pertama, Skema Hutan Desa, yakni hutan negara yang hak pengelolaannya diberikan kepada lembaga desa untuk kesejahteraan desa. Kedua, Hutan Kemasyarakatan, yaitu hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat.
Ketiga, Hutan Tanaman Rakyat, yaitu hutan tanaman di hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi. Keempat, Hutan Adat, yakni hutan yang terletak di dalam wilayah masyarakat hutan adat.
Kelima, Sistem Kemitraan Kehutanan, yakni kerja sama masyarakat setempat dengan pengelola hutan, pemegang izin usaha pemanfaatan (IUP) hutan, jasa hutan, izin pinjam pakai kawasan hutan, atau pemegang izin usaha industri primer hasil hutan.
Program Perhutanan Sosial membuka kesempatan bagi warga di sekitar hutan untuk mengajukan hak pengelolaan area hutan kepada pemerintah untuk perlindungan dan produksi. Setelah disetujui, masyarakat dapat mengelola hutan itu dengan praktik ramah lingkungan.“Tapi syaratnya tidak dikelola langsung oleh aparat desa tapi oleh lembaga pengelola hutan desa (LPHD) dan para pihak yang telah diberi SK kepala desa,” imbuh Bambang.
Yayasan Inisiatif Dagang Hijau (YIDH) menangkap peluang mengembangkan model bisnis Hutan Desa. "YIDH melihat Hutan Desa sebagai salah satu peluang inklusi dalam model Produksi Proteksi Inklusi (PPI) yang dikembangkan oleh YIDH," kata Aris Wanjaya, Manajer Program Lanskap Yayasan IDH.
Hutan Desa Bentang Pesisir Padang Tikar
Aris menjelaskan, konsep Hutan Desa menarik karena masyarakat mendapatkan hak pengelolaan dan akses ke areal hutan di sekitar mereka tetapi di saat bersamaan juga harus melindungi hutan. Di wilayah Hutan Desa yang menjadi lokasi dampingan Yayasan IDH bersama mitra Sampan Kalimantan di Bentang Pesisir Padang Tikar misalnya, mendapatkan hak pengelolaan selama 35 tahun untuk memanfaatkan hasil hutan bukan kayu dan melindungi hutan dan mangrove yang ada di wilayah tersebut.
Hutan Desa Bentang Pesisir Padang Tikar merupakan bagian dari Bentang Pesisir Padang Tikar. Secara administratif terletak di Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat. Bentang Pesisir Padang Tikar adalah wilayah yang dipisahkan oleh Sungai Kapuas dari daratan utama Pulau Kalimantan. Berdasarkan fungsi, Bentang Pesisir Padang Tikar terdiri dari Kawasan Hutan 91.421 ha dan Areal Penggunaan Lain 32.886 ha. Pengelolaan Kawasan 18.685 ha dilakukan oleh investasi berbasis hutan dan lahan. Sedangkan 76.370 ha merupakan Kawasan yang diperuntukkan untuk dikelola oleh masvarakat melalui skema Hutan Desa dimana 70.000 ha dari Hutan Desa merupakan kawasan yang wajib dilindungi.
Menurut Aris, setelah dipelajari selama dua tahun melalui berbagai feasibility study, kawasan Hutan Desa ini memiliki beberapa potensi bisnis potensial, tanpa merusak hutan. Bisnis dikembangkan di tengah hutan agar masyarakat mau masuk ke dalam hutan untuk menjaganya. Maka dibuatlah budidaya kepiting dan juga budidaya lebah madu di kawasan hutan mangrove. Belakangan, bukan hanya madu mangrove saja yang dikembangkan, tapi juga madu kelulut yang rasanya manis dan sedikit asam yang dikembangkan di sekitar rumah.
Dalam feasibility study, ditemukan juga kebun kelapa yang selama ini ternyata belum terolah dengan baik, seluas 9.432 ha. Tentu saja ini peluang dan menjadi potensi bisnis sebagai alternatif tidak menggunakan kayu hutan untuk usaha.
"Semua berjalan bertahap. Petani pembudidaya kepiting awalnya baru tujuh orang dari pelatihan demonstration plot silvofishery. Kini, semakin banyak setelah melihat kesuksesan petani awal," ujar Aris.
Begitu juga dengan bisnis madu yang awalnya hanya beberapa orang saja, kini hampir setiap rumah memiliki budidaya madu. Rata-rata warga bisa mendapatkan Rp 3 - 4 juta per bulan dari penjualan madu.
Sementara bisnis kelapa awalnya hanya menjual buah saja dan minyak kelapa. Namun, harganya fluktuatif dan kemudian ditemukan peluang bisnis lainnya, yakni arang kelapa yang dapat diekspor ke pasar Amerika, Arab, dan Eropa. Peluang lain dari kelapa juga terus digali dan arang berbentuk briket menjadi pilihan.
Setelah bisnis modelnya terbentuk dan berjalan, selanjutnya masuk tahap permodalan untuk memperbesar skala usaha. Namun memasuki tahap permodalan ini biasanya muncul kendala kesulitan untuk mengakses perbankan.
Dirjen Bambang menjelaskan, hambatan permodalan ini dapat diatasi dengan melakukan studi kelayakan sehingga perlu ada rencana bisnis yang bagus. Butuh perencanaan dan menimbang suplai dan permintaan agar usaha ini terlihat kelayakan ekonominya. “Masalah seperti itu masyarakat kan kapasitasnya masih kurang, karena itu pendampingan menjadi penting,” katanya.
Lewat Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (BLU Pusat P2H), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengucurkan tahap pertama pinjaman senilai Rp 19 miliar sebagai modal usaha.Empat kelompok tani Hutan Desa di Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat menjadi yang pertama mendapat pinjaman dengan bunga ringan sebesar 3,25 persen serta tenor dua tahun untuk usaha pemungutan madu hutan dan lima tahun untuk budidaya kepiting bakau.
Pinjaman tersebut untuk memperkuat pengelolaan model bisnis berbasis PPI dari masing-masing kelompok tani di Hutan Desa tersebut. Diharapkan dengan berkembangnya bisnis masyarakat di dalam Hutan tersebut juga dapat memperkuat upaya perlindungan hutan yang berkelanjutan. (*)