Impor Cangkul Dikritik Jokowi, BPS Catat Nilainya Kecil Rp 826 juta
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengkritik pengadaan pacul atau cangkul oleh kementerian dan lembaga yang diimpor dari luar negeri. Padahal, produk tersebut bisa diproduksi dari usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam negeri.
“Apakah negara kita sebesar ini, industrinya berkembang, apa benar pacul harus impor?” kata Presiden dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah 2019 di Jakarta, Rabu (8/11). “Padahal, kita sambil tidur bisa buat pacul.”
Ia lalu mengaitkan kondisi defisit transaksi berjalan, nilai impor lebih besar dari ekspor, yang masih terjadi di Indonesia. “Kita hobi impor, uangnya milik pemerintah lagi, kebangetan itu kalau masih diteruskan. Kebangetan,” ucapnya.
(Baca: Jokowi Perintahkan Airlangga Pangkas Defisit Transaksi Berjalan)
Harga yang murah menjadi penyebab pemerintah mengadakan impor pacul dan cangkul tersebut. Karena itu, Jokowi meminta Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Roni Dwi Susanto untuk memprioritaskan produk dengan komponen lokal sangat tinggi agar didahulukan masuk ke e-catalogue.
Menurut dia, lebih baik barang lokal walaupun harganya sedikit mahal ketimbang impor. Berdasarkan data LKPP, total belanja barang/jasa pemerintah pada periode 2015-2019 mencapai Rp 5.335 triliun. Melalui proses pengadaan e-tendering dan e-purchasing, nilai penghematannya sebesar Rp 177,93 triliun.
Impor Cangkul Bukan Masalah Baru
Masalah impor cangkul sebenarnya bukan hal baru. Pada 2016, kasus serupa juga pernah muncul. Kementerian Perdagangan ketika itu memberikan izin impor cangkul dari Cina kepada PT Perusahaan Perdagangan Indonesia.
Cangkul impor itu masuk melalui Medan, Sumatera Utara, pada Agustus 2016. Kebijakan tersebut mengundang pertanyaan, mengapa sebuah alat sederhana harus berasal dari luar negeri.
(Baca: Jokowi Heran Indonesia Impor Ratusan Ribu Cangkul)
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto kemudian menggelar rapat dengan jajaran eselon satu serta perwakilan Kementerian Perdagangan. Ia mengatakan, impor cangkul itu jumlahnya sangat kecil, bahkan tidak sampai sepersepuluh dari kebutuhan dalam negeri.
Kebutuhannya saat itu mencapai 10 juta cangkul, sementara impornya hanya 86 ribu buah. Airlangga memastikan pemerintah tidak akan melakukan impor lagi karena industri domestik mampu memproduksinya.
Pada 5 Januari 2017, Kementerian Perindustrian melakukan penandatanganan nota kesepahaman mengenai pemenuhan kebutuhan bahan baku untuk pembuatan alat perkakas pertanian. Kementerian melakukan kesepakatan itu dengan Krakatau Steel, PT Boma Bisma Indra, PT Perusahaan Perdagangan Indonesia, dan PT Sarinah (Persero).
Kesepakatan tersebut untuk memenuhi kebutuhan alat perkakas pertanian non-mekanik dalam negeri, seperti cangkul, dodos, sekop, garu, dan sabit (egrek). Krakatau Steel bertindak sebagai penyedia bahan bakunya, yaitu baja ringan. Produksinya dikerjakan oleh Boma Bisma Indra tapi hanya sampai 75% produk jadi. Sisanya, dikerjakan oleh industri kecil dan menengah (IKM). Lalu, Perusahaan Perdagangan Indonesia dan Sarinah bekerja di bagian pemasaran.
Rata-rata kebutuhan cangkul nasional mencapai 10 juta unit per tahun. Sedangkan kapasitas industri dalam negeri mencapai 14 juta per tahun.
(Baca: Bertemu Mendag AS, Jokowi Bidik Perdagangan RI Tembus Rp 842 T di 2024)
Berapa Besar Impor Cangkul?
Berdasarkan Buletin Statistik Badan Pusat Statistik atau BPS, nilai impor cangkul dari Januari sampai Juni 2019 mencapai US$ 59 ribu atau sekitar Rp 826 juta. Berat bersihnya sekitar 144 ribu kilogram. Nilainya sebenarnya tak seberapa jika dibandingkan, misalnya, dengan impor mesin, barang elektronik, atau bahan bakar minyak, yang mencapai miliaran rupiah.
Impor cangkul tertinggi terjadi pada April 2019 yang mencapai 81 ribu kilogram atau senilai US$ 48 ribu (Rp 672 juta). Angka tinggi ini sepertinya sebagai kompensasi karena pada bulan sebelumnya tidak terjadi kegiatan impor serupa.
Nilai impor dari Januari sampai Juni 2019 ini sudah hampir dua kali lipat daripada 2018. Realisasi impornya sepanjang tahun lalu mencapai 78 kilogram atau senilai US$ 34 ribu (Rp 476 juta).