Ragam Kisah Sukses Sistem Pengolahan Sampah di Berbagai Negara

Image title
3 Desember 2019, 19:49
Pabrik daur ulang plastik
Syifa Yulinnas

Sampah menjadi persoalan pelik hampir di semua daerah kota besar. Tidak hanya di kota-kota di Indonesia, tapi juga di dunia. Meski begitu, beberapa negara maju di dunia sudah menerapkan sistem pengolahan sampah yang tidak hanya jelas, tapi juga tegas. Indonesia sendiri meski sudah mulai bergerak ke arah yang positif, masih perlu banyak belajar.

Jerman adalah negara dengan tingkat daur ulang sampah terbaik di dunia berdasar data dari Eunomia, yang dikutip oleh World Economic Forum. Di Jerman, persentase sampah yang diolah kembali sudah di atas 50 persen. 

Sistem pengolahan dan pemilahan yang dilakukan Jerman sebenarnya sederhana namun mendetail. Kotak pembuangan sampah ‘warna-warni’ yang ada di sekitar daerah tempat tinggal, mendorong pemilahan dilakukan oleh tiap-tiap individu atau setidaknya dari rumah masing-masing. Kotak pembuangan ini punya pengkhususannya sendiri untuk tiap warnanya.

Sementara khusus, untuk sampah botol plastik, di Jerman dikenal istilah ‘Pfandflaschen’. Secara harfiah istilah ini dapat diartikan sebagai pengembalian botol. Minuman dalam botol plastik diperlakukan dengan sistem jaminan. Jadi setelah minumannya habis botol dikembalikan sebuah mesin deposit yang umum ditemukan di pasar swalayan dan nantinya konsumen akan mendapat kembali uang jaminannya. 

Jepang dan Korea Selatan Kebut Permasalahan Sampah

Bergeser sedikit ke wilayah Asia, ada Jepang dan Korea Selatan, yang mulai menggalakkan upaya pengolahan dan daur ulang sampah. Dua negara Asia Timur ini sebelumnya cenderung abai soal pengolahan sampah dan sebenarnya baru benar-benar berbenah masalah sampah 10 tahun terakhir --bahkan kurang. Namun berkat keseriusan dan upaya maksimal yang dikerahkan, hasilnya Korea Selatan sudah masuk lima besar negara dengan tingkat daur ulang terbaik di dunia. 

Baik Jepang maupun Korea Selatan memperkuat sisi pemilahan sampah dimulai dari rumah tangga. 

Di Negeri Gingseng, faktor regulasi, imbalan, dan sanksi sosial menjadi pendorong masyarakatnya rajin melakukan pengelolaan dan mengurangi sampah. Mengutip dari Waste4Change, abai dalam menerapkan pemilahan sampah bisa berdampak pada pemindahan paksa dari rumah tinggal. Sementara Jepang memfokuskan pada sistem pemilahan sampah yang detail. Setiap rumah tangga di Jepang tidak bisa memasukkan semua sampah dalam satu wadah saja. Berdasarkan informasi dari The New York Times, bahkan setiap penduduk dibekali buklet 27 halaman yang menerangkan bagaimana seharusnya mereka memilah sampah, termasuk pembagian 518 jenis yang ada di sana. 

Khusus untuk sampah plastik, baik Jepang maupun Korea Selatan, mencoba membatasi penggunaan kantong plastik. Di Korea Selatan, per 1 Januari 2019 penggunaan plastik sekali pakai hanya diperbolehkan untuk membungkus daging dan ikan. Sementara di Jepang mulai pertengahan tahun kemarin, Kementerian Lingkungan Hidup di Jepang melarang praktik penyediaan kantong plastik sekali pakai secara gratis. Rencananya mereka akan mengenakan biaya tidak lebih dari 10 yen (sekitar Rp 1.300) untuk satu kantong plastik. 

"Proporsi kantong plastik di antara sampah plastik tidak besar, tetapi pembayaran itu akan menjadi simbol upaya Jepang untuk mengurangi limbah tersebut," kata Menteri Lingkungan Hidup Jepang Yoshiaki Harada kepada Japan Today, seperti diberitakan Kompas.com, 7 Juni 2019.

Belajar dari Negara Tetangga

Selain negara-negara maju di atas, negara tetangga, Singapura, juga sebenarnya sudah memiliki sistem pengelolaan sampah yang baik. Tingkat daur ulang di sana --juga berdasar data Eunomia-- mencapai 61 persen untuk berbagai jenis sampah.

Selain angka persentasenya besar, yang menarik dari sistem pengelolaan sampah di Singapura adalah partisipasi aktif dari pihak swasta. Berdasar informasi dari lembaga kelingkungan nasional Singapura, National Environment Agency, ada sejumlah perusahaan swasta yang ditunjuk sebagai public waste collectors (PWCs). Mereka bertanggung jawab dalam proses pengumpulan sampah dalam periode tujuh sampai delapan tahun.

Bicara soal teknologi, Singapura juga sudah mulai mengandalkan metode waste to energy setelah sebelumnya masih akrab dengan penumpukan atau landfill. Transisi ini mereka lakukan mengingat lahan yang sangat terbatas yang mereka miliki.

Pengolahan sampah menjadi energi ini secara khusus diberlakukan untuk sampah plastik. Setelah dikumpulkan sampah-sampah tersebut dibawa ke pabrik insinerator yang mereka miliki. Proses pembakaran dengan metode ini dilakukan dengan suhu 1.000 derajat Celcius dan dilakukan selama 7 hari selama seminggu penuh.

“Kami menjual 80 persen dari energi listrik yang kami produksi, sementara 20 persen sisanya kami gunakan untuk memenuhi kebutuhan energi di pabrik,” kata General Manager Pabrik Incenerator Tuas Selatan, Chong Kuek On, kepada Jakarta Post. Metode pengolahan sampah menjadi energi ini diklaim mampu mengurangi sampah hingga 90 persen dan menghasilkan energi listrik 150 MWh setiap harinya. 

Surabaya Jadi Contoh

Indonesia sebenarnya juga sudah mulai serius soal pengelolaan sampah. Kebijakan sudah dikeluarkan lewat Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.

Perpres ini kemudian menjadi cetak biru bagi perjalanan menuju Indonesia Bersih Sampah 2025 yang melahirkan Kebijakan dan Strategi Nasional (Jakstranas). Target besarnya bisa dilakukan pengurangan sampah sampai 30 persen dan melakukan pengelolaan 70 persen sampah pada 2025. Jakstranas ini juga yang menjadi pedoman bagi pemerintah daerah merumuskan turunannya untuk masing-masing provinsi dan/atau kabupaten/kota.

Surabaya menjadi salah satu contoh kota yang terdepan soal inovasi membudidayakan sampah.

Pemerintah Kota Surabaya di bawah arahan Wali Kota Tri Rismaharini membangun 28 Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) dengan fasilitas pengolahan sampah dalam rangka memangkas ongkos pembuangan sampah ke TPA.Dalam operasionalnya, Pemkot Surabaya melibatkan kontraktor yang diikat selama 20 tahun.

Di sisi lain, sampah yang pada akhirnya terkumpul di TPA juga dimanfaatkan sebab Surabaya punya Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang ada di Benowo. Fasilitas ini bisa menghasilkan energi 1-2 MW tahun 2016 lalu dan rencananya ditargetkan akan meningkat menjadi 11 MW tahun ini.

Namun senjata utama Surabaya justru ada di keterlibatan masyarakat dalam mengelola kebersihan. Dibangunnya sejumlah bank sampah di kelurahan, RT, dan RW diimbangi dengan edukasi ke masyarakat untuk memilah berdasar kategori, organik, dan anorganik.

Dampaknya sendiri terbilang positif. Jumlah penduduk Kota Surabaya yang mencapai 3,07 juta jiwa hanya memproduksi 1.600 ton sampah sehari. ”Dengan jumlah sebesar itu, harusnya jumlah sampah berdasarkan rasio mencapai 2.600 ton per hari,” kata Sekretaris Dinas Kebersihan dan Ruang Terbuka Hijau Kota Surabaya, Aditya Wasita, seperti dikutip BBC, 29 April 2018.

Budaya partisipatif dalam pengolahan sampah di Surabaya tidak lepas dari ekosistem yang dibuat di sana. Salah satu yang menarik adalah Suroboyo Bus, yaitu transportasi ramah lingkungan yang mensyaratkan pembayaran ongkos bus dengan sampah plastik. 

Tidak aneh kalau Kota Surabaya berhasil meraih Adipura Kencana, penghargaan tertinggi bagi kota yang berhasil dalam kebersihan dan pengelolaan lingkungan perkotaan selama minimal tiga tahun berturut-turut. Belum ada kota lain yang pernah mendapat penghargaan ini.

Sementara itu kalau mau melihat peluangnya, pemanfaatan sampah plastik juga masih terbuka sangat lebar. Berdasar data Inaplas tahun 2017, ada 5,76 juta ton plastik yang dikonsumsi, 2,7 juta ton di antaranya adalah plastik sekali pakai yang seharusnya bisa langsung di daur ulang. Sayangnya, baru sekitar 1,66 juta ton sampah plastik tersebut yang diolah kembali.

Ini menyisakan sekitar 1,04 juta ton sampah plastik yang menumpuk di TPA ataupun belum diolah kembali. Tumpukan sampah ini bisa dipandang sebagai masalah, tapi juga bisa jadi potensi ekonomi ataupun energi jika mau dikelola dan diolah lebih baik lagi.