Ada PP, Keppres, & Perppu untuk Atasi Corona, Bagaimana Pengaturannya?
Dalam satu hari kemarin, Selasa (31/3), ada tiga aturan yang dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo. Semuanya terkait penanganan virus corona. Ketiganya adalah Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar, Keputusan Presiden (Keppres) Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, dan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan.
Pemilihan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB berarti pemerintah memutuskan tidak ada kebijakan lockdown atau isolasi penuh. Indonesia, menurut Jokowi, sudah belajar dari pengalaman negara lain dan memiliki ciri khas berbeda.
“Baik itu luas wilayah, jumlah penduduk, kedisiplinan, kondisi geografis, karakter dan budaya, perekonomian masyarakat, kemampuan fiskal, dan lainnya,” ucap Jokowi.
Dasar penetapan PSBB adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Status ini ditetapkan oleh Menteri Kesehatan yang berkoordinasi dengan Kepala Gugus Tugas Covid-19. Karena itu, setiap pimpinan daerah harus mengikuti kebijakan pusat dan tidak membuat aturan berbeda.
(Baca: Dapat Perlindungan Hukum, Pelaksana Perppu Corona Tidak Dapat Dituntut)
Status PSBB Ditetapkan Menteri Kesehatan
Melansir dari situs Sekretariat Kabinet, status PSBB tertuang dalam PP Nomor 21 Tahun 2020. Aturannya berisi tujuh pasal. Di pasal dua tertulis pemerintah daerah dapat melakukan PSBB atau pembatasan terhadap pergerakan orang dan barang untuk satu provinsi atau kabupaten/kota. Dasar keputusannya adalah pertimbangan epidemiologis, besarnya ancaman, efektivitas, isu politik, ekonomi, dan lainnya.
Pasal berikutnya menyebut status pembatasan sosial skala berskala besar harus memenuhi dua kriteria. Pertama, jumlah kasus kematian akibat penyakit meningkat dan menyebar secara signifikan. Lalu, terdapat kaitan epidemiologis dengan kejadian serupa di wilayah lain.
Kalau PSBB sudah ditetapkan, pemerintah daerah paling sedikit bisa memutuskan peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan pembatasan kegiatan di fasilitas umum.
Tapi pelaksanaan status itu harus diusulkan oleh gubernur/bupati/walikota terlebih dulu kepada menteri kesehatan. Pasal enam PP tersebut tertulis menteri kesehatan yang akan menetapkan status itu dengan memperhatikan pertimbangan Ketua Pelaksana Gugus Tugas Covid-19.
Ketua Gugus Tugas juga dapat mengusulkan PSBB di wilayah tertentu kepada menteri kesehatan. Kalau menteri sudah setuju dengan usulan tersebut, kepala daerah di wilayah tertentu wajib melaksanakan status itu. PP ini berlaku sejak diundang, yaitu 31 Maret 2020.
(Baca: BI & Pemerintah Antisipasi Kondisi Terburuk Kurs Rupiah 20.000 per US$)
Jokowi Tambah Alokasi Belanja APBN
Jokowi juga mengeluarkan Keppres Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Penetapan status itu didorong kasus virus corona di Tanah Air yang terus bertambah setiap hari. Jumlahnya sampai saat ini mencapai 1.529 orang dengan jumlah kasus kematian 136 orang. Grafik Databoks di bawah ini menunjukkan kenaikannya sejak awal Maret lalu.
Jokowi memutuskan Covid-19 sebagai jenis penyakit yang menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat Penanganannya wajib dilaksanakan sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Peraturan ini juga berlaku mulai kemarin.
PP dan Keppres yang terbit ini berjalan beriringan. Presiden mengatakan inti kebijakannya adalah mengendalikan penyebaran virus corona dan mengobati masyarakat yang terpapar penyakit tersebut.
Selain itu, pemerintah menyiapkan jaring pengaman sosial bagi masyarakat di lapisan bawah. Pemerintah berupaya agar dunia usaha bisa bertahan di tengah pandemi corona, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). “Saya akan fokus pada penyiapan bantuan untuk masyarakat lapisan bawah,” ucapnya.
Karena itu, Jokowi mengeluarkan Perppu Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan. Di dalamnya pemerintah menambah alokasi belanja dan pembiayaan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (ABPN) 2020 sebesar Rp 405,1 triliun. Alokasi belanja APBN tahun ini sesuai undang-undang yang sudah diputuskan adalah Rp 2.540,4 triliun.
(Baca: Anggaran Kartu Prakerja Naik jadi Rp 20 Triliun, per Orang Rp 3,5 Juta)
Sekitar Rp 150 triliun anggaran itu untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional. Termasuk di dalamnya restrukturisasi kredit dan penjaminan serta pembiayaan untuk UMKM dan dunia usaha. Lalu, Rp75 triliun untuk bidang kesehatan, meliputi perlindungan tenaga kesehatan, pembelian alat kesehatan, perbaikan fasilitas kesehatan, dan insentif dokter.
Kemudian, sebesar Rp110 triliun untuk jaring pengaman sosial (social safety net). Pemerintah akan menambah anggaran kartu sembako, kartu prakerja, dan subsidi listrik. Terakhir, Rp70,1 Triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat (KUR).
Konsekuensi dari naiknya belanja negara adalah defisit APBN yang bertambah hingga 5,07% dari produk domestik bruto (PDB). Angka ini melampaui batas ketentuan undang-undang yang dipatok di 3% dari PDB.
Pemerintah akan menerbitkan Perppu lainnya untuk pelaksanaan relaksasi defisit itu. Targetnya defisit hingga 5% hanya untuk tiga tahun. Pada 2023, pemerintah akan kembali memakai angka fiskal batas maksimal yang telah ditetapkan undang-undang.
(Baca: Sri Mulyani: Skenario Terburuk Dampak Corona, Ekonomi RI Minus 0,4%)
Keprres, Perpres, dan Inpres, Apa Bedanya?
Pemerintah tidak akan berhenti pada tiga aturan itu saja untuk menengani penyebaran virus corona. Ada juga Peraturan Presiden (Perpres) dan Instruksi Presiden (Inpres) untuk mengatur mudik lebaran 2020.
Pada rapat terbatas melalui video conference awal pekan ini, Jokowi meminta seluruh elemen masyarakat fokus mengurangi mobilitas antardaerah. Tujuannya, agar kasus infeksi Covid-19 tidak bertambah banyak dan luas wilayahnya. “Kebijakan ini untuk memutus mata rantai persebaran virus corona,” katanya.
Lantas, apa bedanya Keppres, Perpres, dan Inpres? Hukum Online menuliskan Keppres sifatnya konkret, individual, sekali selesai. Isinya hanya berlaku dan mengikat kepada orang atau pihak tertentu sampai Keppres itu dicabut atau diganti aturan baru.
Sementara, Perpres sifatnya umum, abstrak, dan terus-menerus. Isinya berlaku untuk semua orang selama aturan itu berlaku. Kalau Inpres hanya berisi arahan, menuntun, dan membimbing dalam hal melaksanakan tugas dan pekerjaan.
(Baca: Suntikan Dana Investor Diprediksi Anjlok 20%, Startup Harus Efisiensi)