Industri Makanan & Minuman Keluhkan Kebijakan Pemerintah Tidak Sinkron
Pengusaha mulai mengeluhkan perbedaan pendapat antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, terkait larangan produksi saat pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Perbedaan pendapat antara Pemerintah Pusat dan Pemda ini menyebabkan banyak perusahaan kesulitan untuk menentukan kebijakan produksi yang akan diambil. Alhasil, produksi menjadi tidak maksimal.
Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi S. Lukman mengatakan, hal itu menimbulkan permasalahan baru di kalangan pengusaha. Padahal, industri makanan dan minuman merupakan salah satu usaha yang masih dizinkan beroperasi secara normal.
"Pertama antara pusat dan daerah tidak sinkron kebijakannya, sebab pusat tetap memberikan izin operasi, tapi di daerah minta semua industri tutup total," kata Adhi dalam rapat bersama Komisi VI melalui video conference, Senin (27/4).
Selain tidak sinkronnya kebijakan pusat dan daerah, industri makanan dan minuman juga memiliki permasalahan soal perbedaan mengenai penanganan dan pencegahan penyebaran virus corona (Covid-19) di lingkungan perusahaan. Hal ini lantas berpengaruh pada biaya yang harus dikeluarkan perusahaan selama pandemi Covid-19.
Pelaku industri makanan dan minuman juga mengeluhkan soal pemberian stimulus dari pemerintah, yang dianggap masih belum cukup. Padahal, industri tersebut merupakan salah satu faktor yang menopang hidup masyarakat.
(Baca: Marak Corona, Industri Minuman Masih Genjot Produksi Jelang Puasa)
Industri makanan dan minuman berharap ada stimulus tambahan agar operasional perusahaan tidak berat saat pandemi Covid-19. Salah satu stimulus yang diharapkan adalah, penghapusan izin impor bahan baku karena prosedurnya yang panjang selama ini dianggap memberatkan.
Kemudian, pelaku usaha juga mengharapkan adanya pembebasan bea bahan baku, untuk mengurangi kerugian. Beberapa bahan baku menurut Adhi harus melalui booking order, sementara dengan biaya yang membengkak saat ini banyak perusahaan tidak berani order. Sehingga, timbul permasalahan kesulitan bahan baku.
Selain itu, pelaku industri makanan dan minuman juga mengharapkan adanya pengurangan pajak, khususnya PPh 25 dan PPh 22. Hal ini diperlukan, agar keuangan perusahaan terjaga dan tetap mampu membayar gaji dan tunjangan hari raya (THR) karyawannya.
Adapun, asosiasi memperkirakan kinerja penjualan industri makanan, khususnya makanan olahan, akan turun 30% seiring dengan penurunan daya beli masyarakat akibat pandemi Covid-19. Penjualan juga diperkirakan tidak melambat saat Ramadan dan Idul Fitri, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya.
Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan Publik GAPMMI Rachmat Hidayat mengatakan, data tersebut didapatkan setelah melakukan survei kepada para anggotanya beberapa waktu lalu. Dalam situasi seperti ini, perhitungan angka pasti penurunan belum dapat dilakukan.
"Salah satu pertanyaannya bagaimana persepsi mereka tentang bisnis terkait dengan situasi pandemi Covid-19 ini. Mayoritas menjawab bisnis akan turun 30% jadi itu survei persepsi para anggota," kata dia kepada Katadata.co.id, Sabtu (11/4).
(Baca: Daya Beli Terpukul Corona, Penjualan Makanan Olahan Diramal Anjlok 30%)