Tim Advokasi Temukan 9 Kejanggalan di Sidang Penyiraman Novel Baswedan

Image title
Oleh Ekarina
11 Mei 2020, 14:18
Tim Advokasi Temukan 9 Kejanggalan di Sidang Penyiraman Novel Baswedan.
ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/nz
Penyidik KPK Novel Baswedan (tengah) selaku korban menjadi saksi dalam sidang lanjutan kasus penyiraman air keras. Tim Advokasi Novel Baswedan mengungkapkan 9 temuan kejanggalan sidang.

Tim Advokasi Novel Baswedan menemukan 9 kejanggalan dalam proses persidangan kasus penyerangan mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut. Sidang telah digelar sebanyak empat kali di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. 

Pekan lalu, Novel Baswedan hadir memenuhi agenda pemeriksaan saksi. "Proses persidangan itu dinilai masih jauh dari harapan dalam menggali fakta sebenarnya (materiil) dalam kasus ini," kata Tim Advokasi Novel Basweda, Kunia Ramadhana dalam keterangan resmi, Senin (11/5).

Advertisement

Tim Advokasi yang sejak awal turut memantau jalannya persidangan menemukan berbagai kejanggalan.

(Baca: Tim Advokasi Minta Polisi Bongkar Dalang Penyerangan Novel Baswedan)

Pertama, dakwaan jaksa skenario menutup pengungkapan aktor intelektual dan hukum ringan pelaku.

Dalam dakwaannya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menunjukkan bahwa kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan hanya dinilai sebagai tindak pidana penganiayaan biasa, dan tidak berkaitan dengan kerja maupun teror sistematis pelemahan KPK yang selama ini terus diterima para penyidik lembaga anti-rasuah.

Dakwaan Jaksa Penuntut Umum sangat bertentangan dengan temuan Tim Pencari Fakta bentukan Polri untuk kasus Novel Baswedan yang menemukan bahwa motif penyiraman air keras terhadap Novel terkait kasus yang ditangani.

Dalam dakwaan JPU juga tidak terdapat fakta atau informasi siapa  pelaku yang  menyuruh melakukan penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan. "Patut diduga Jaksa sebagai pengendali penyidikan satu skenario dengan kepolisian mengusut kasus hanya sampai pelaku lapangan," katanya.

Hal ini bertentangan dengan temuan dari Komnas HAM dan Tim Pencari Fakta bentukan Polri yang menyebutkan bahwa ada aktor intektual dibalik kasus penyerangan. 

Kedua,  JPU dinilai tak merepresentasikan negara yang mewakili kepentingan korban, melainkan tampak membela kepentingan para terdakwa.

Temuan ini menurutnya, sudah pernah disampaikan saat agenda persidangan memasuki pembacaan surat dakwaan. Dalam berkas tersebut Jaksa hanya mendakwa dua penyiram wajah Novel dengan pasal penganiyaan biasa.

(Baca: Politisi PDIP Desak Kejaksaan Usut Kasus Lama Novel Baswedan )

Padahal, perbuatan pelaku sudah jelas dianggap dapat mengancam nyawa korban. Selain itu, dalam dakwaan disebutkan bahwa air yang digunakan untuk menyiram wajah Novel berasal dari aki.

Pernyataan ini dinilai sesat. Sebab sebelummnya sudah diketahui dengan jelas bahwa cairan tersebut adalah air keras yang telah menyebabkan Novel Baswedan kehilangan penglihatan.

Dalam persidangan, jaksa juga terlihat tidak memiliki arah yang jelas. Pasalnya, meski telah disebut saksi korban nama dan informasi penting mengenai kemungkinan keterlibatan aktor lain, jaksa tidak menggali lebih lanjut.

Ketiga, Majelis hakim terlihat pasif dan tidak objektif mencari kebenaran materiil.
Hakim tidak menggali rangkaian peristiwa secara utuh, khususnya fakta-fakta sebelum penyerangan terjadi untuk membuktikan bahwa serangan dilakukan secara sistematis, terorganisir, tidak hanya melibatkan pelaku pada saat penyerangan terjadi.

Hal ini dibuktikan dalam persidangan pemeriksaan Novel, hakim cenderung terbatas menggali fakta dengan pertanyaan-pertanyaan seputar kejadian 11 April oleh pelaku penyerangan, dampak penyerangan. Hal ini tidak diikuti dengan menggali informasi lebih jauh terkait informasi saksi yang telah disebutkan terkait nama dan peristiwa yang berkaitan dengan penyerangan.

Jika demikian cara kerja hakim diperkirakan akan menutup peluang untuk membongkar kejahatan sistematis ini. Hakim  semestinya dapat menggali keterangan saksi atau alat bukti lain agar bisa mencari kebenaran materiil serta mampu membongkar pelaku lapangan penyerang dan juga aktor intelektualnya.

Keempat, para terdakwa pelaku kejahatan anggota Polri aktif didampingi kuasa hukum Polri. 

(Baca: Refleksi 2019 ICW: Agenda Jokowi Berantas Korupsi Hanya Demi Investasi)

Seperti diketahui, kedua terdakwa pelaku penyiraman  merupakan anggota polisi aktif mendapatkan pembelaan hukum yang mana keseluruhannya berasal dari institusi Polri.

Oleh karena itu, dia menilai kejahatan yang disangkakan kepada dua orang terdakwa itu merupakan telah mencoreng dengan Institusi kepolisian dan tentu bertentangan dengan tugas dan kewajiban Polisi dalam UU Kepolisian.

Sehingga, ketika para terdakwa justru di bela oleh institusi Polri, proses pendampingan itu pun harus dipertanyakan. "Atas dasar apa insitusi Polri mendampingi pelaku tersebut? Pembelaan oleh Institusi Kepolisianakan menghambat proses hukum untuk membongkar kasus yang diduga melibatkan anggota serta petinggi kepolisian ini" ujar Kurnia. 

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement