Blackout Tuesday, Dukungan Industri Musik & Blunder yang Mengikutinya
Industri musik menunjukkan aksi protes atas tewasnya George Floyd, warga kulit hitam Amerika Serikat, melalui tanda pagar #BlackoutTuesday. Penyedia layanan streaming musik Spotify, Apple Music, Amazon Music, dan Youtube Music terlibat dalam gerakan tersebut kemarin, Selasa (2/6).
Spotify melakukan waktu hening selama delapan menit dan 46 detik. Angka ini setara dengan jumlah waktu yang dipakai aparat polisi bernama Derek Chauvin untuk menjepit leher Floyd dengan lututnya hingga tewas pada Senin pekan lalu di Minneapolis, Minnesota.
“Pada 2 Juni adalah Black Out Tuesday, hari pemutusan kolektif dari pekerjaan untuk membantu orang-orang melakukan refleksi dan bersatu mendukung komunitas kulit hitam. Pada hari ini - dan setiap hari - Spotify akan mendukung karyawan, teman, mitra, dan artis dalam perjuangan melawan rasisme, ketidakadilan, dan ketidakadilan,” tulis Spotify dalam blog-nya, melansir dari The Verge.
(Baca: Protes Kematian George Floyd, Tagar #BlackLivesMatter jadi Trending)
Apple Music hanya menampilkan musik yang diproduksi oleh seniman kulit hitam. Rekomendasi lagu dan radio hanya menunjukkan daftar tunggal yang disebut “Untuk Kami, Oleh Kami”.
Amazon Music berkicau pada akun Twitter sebagai bentuk dukungan untuk gerakan ini. Perusahaan juga menghentikan semua media sosialnya selama satu hari. Youtube Music memberi dukungannya pula dengan berjanji menyumbangkan US$ 1 juta ke Center for Policy Equity.
(Baca: Walmart & Apple Dijarah, Bisnis Retail AS Makin Terpuruk saat Pandemi)
Siapa Pencetus Tagar #BlackoutTuesday?
Gagasan ini muncul dari dua wanita kulit hitam yang bekerja sebagai pemasaran musik, yaitu Jamila Thomas dan Brianna Agyemang. Keduanya mencetuskan tagar #TheShowMustBePaused pada Senin lalu untuk mendorong industri musik melakukan pemadaman sebagai aksi solidaritas.
“Industri musik bernilai miliaran dolar. Sebuah industri yang diuntungan terutama dari kesenian warga kulit hitam,” kata keduanya dalam sebuah pernyataan. Di tangga album Billboard, The New York Post melaporkan, artis kulit hitam telah menempati posisi nomor satu dalam 11 sampai 13 minggu terakhir.
Dukungan terhadap aksi ini kemudian turun ke para seniman. Penyanyi Rihanna, Quincy Jones, Yoko Ono, dan The Rolling Stone, ikut menyebarkan tagar #BlackoutTuesday. Beberapa di antara mereka menampilkan layar hitam kosong dalam media sosialnya sebagai bentuk solidaritas.
(Baca: Sejarah dan Fasilitas Bungker Gedung Putih Tempat Trump Diungsikan)
Blunder Tagar #BlackoutTuesday
Aksi menampilkan layar hitam kosong kemudian diikuti oleh netizen. Di sinilah blunder itu muncul. Kampanya digital membuat setiap individu menjadi mudah menunjukkan dukungannya.
Beberapa orang bersumpah untuk puasa dari media sosial sebagai bentuk aksi solidaritas. Ada juga yang menambahkan pesan #blacklivesmatter. Padahal kedua tagar itu memiliki misi yang berbeda.
Akhirnya banyak yang mengkritik cara para netizen menyikapi #BlackoutTuesday. Di saat protes dan kerusuhan terjadi di AS, pesan #blacklivesmatter penting untuk disampaikan terus-menerus di media sosial. “Memposting layar hitam di Instagram dan membuat tagar #blacklivesmatter itu tidak berguna,” tulis penyanyi Tatianna di Twitter.
Kemarin, The Show Must Be Paused mengeluarkan pernyataan tambahan menjelaskan maksud gerakannya. “Tujuannya adalah tidak membuat diri kita membisu,” tulis kelompok itu. “Tujuannya adalah untuk mengganggu.”
(Baca: Kerusuhan di AS, Semprotan Merica-Pistol Listrik Laris Manis di Amazon)
Apa Itu Tagar #blacklivesmatter?
Tagar ini muncul pada 2013 melalui media sosial setelah seorang remaja kulit hitam AS, Trayvon Martin, tewas ditembak warga kulit putih bernama George Zimmerman pada Februari 2012. Black Lives Matter kemudian berkembang menjadi organisasi yang fokus pada isu persamaan hak asasi manusia.
Organisasi ini tak memiliki hierarki formal dan beroperasi di AS, Inggris, dan Kanada. Seluruh gerakan dilakukan secara jaringan yang tidak terpusat.
Melansir dari situs Black Lives Matter, kampanyenya menyasar soal isu rasisme, mendorong penghapusan supremasi kulit putih, dan melakukan penguatan lokal bagi kasus-kasus kekerasan warga kulit hitam.
Pada kasus Floyd, Black Lives Matter mengorganisasi demonstrasi di seluruh AS pada 30 Mei 2020. Di beberapa kota, unjuk rasa ini berakhir ricuh dan terjadi penjarahan.
(Baca: Kerusuhan Pecah di AS, Trump Ancam Kerahkan Ribuan Militer)