Ekonomi Kuartal II Tetap Terancam Resesi meski PSBB Dilonggarkan
DKI Jakarta mulai menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar masa transisi dan membuka kembali perekonomian secara bertahap di tengah pandemi Covid-19. Namun, ekonom memperkirakan kebijakan ini tak akan menolong kinerja perekonomian pada kuartal kedua tahun ini.
"Saya pikir berat untuk menghindari resesi di kuartal kedua karena kemungkinan besar pertumbuhan ekonomi kuartal tersebut akan tumbuh negatif," ujar Pengamat Ekonomi Institut Kajian Strategis Universitas Kebangsaan RI Eric Sugandi kepada Katadata.co.id, Senin (8/6).
Kebijakan PSBB penting untuk menghentikan penyebaran Covid-19. Namun, dampaknya membuat aktivitas produksi dan konsumsi melambat.
Eric memperkirakan dampak pelonggaran kebijakan PSBB melalui masa transisi belum akan terlihat pada kuartal kedua. Ini lantaran masa transisi tersebut baru berlaku pada Juni.
Ia meramal ekonomi domestik pada kuartal II akan terkontraksi hingga 2,6% secara kuartal atau 3,7% secara tahunan. Namun, ekonomi diperkirakan mulai pulih pada kuartal III 2020 dengan pertumbuhan sebesar 2,5% secara kuartal, tetapi minus 4,3% secara tahunan.
(Baca: Di Mata Pengusaha, Pelonggaran PSBB Tak Memicu Gelombang Kedua Corona)
Sementara sepanjang tahun ini, ekonomi Indonesia ditaksir minus 1% dan pulih pada tahun depan dengan pertumbuhan mencapai 4,8%.
"Kalau dengan definisi resesi secara teknikal yakni kontraksi secara kuartalan selama dua kuartal berturut-turut, maka Indonesia akan mengalami resesi pada kuartal II 2020," jelas dia.
Pada kuartal pertama tahun ini, BPS mencatat pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 2,9% secara tahunan. Sementara dibanding kuartal sebelumnya, ekonomi terkontraksi 2,41%.
Senada, Peneliti Institute For Development of Economics and Finance Bhima Yudhistira mengatakan PSBB masa transisi belum akan banyak mendorong ekonomi di kuartal kedua. "Karena momentum Lebaran sudah lewat," ujar Bhima kepada Katadata.co.id pada kesempatan berbeda.
(Baca: Pandemi Covid-19 Lumpuhkan Bisnis Taksi, Pendapatan Turun hingga 75%)
Ia menjelaskan bahwa daya beli masyarakat khususnya kelas menengah dan bawah cukup terdampak kenaikan korban pemutusan hubungan kerja, serta pemangkasan gaji dan tunjangan. Sedangkan kelas atas memilih untuk menabung di saat resiko pandemi masih tinggi.
Angka pengangguran tahun ini pun diperkirakan akan tinggi dan mencapai 9%-12%. Industri masih butuh waktu untuk merekrut kembali korban PHK meski perekonomian mulai pulih.
Dari sisi belanja pemerintah, Bhima menyebut, efektivitas stimulus terhadap sektor riil masih membutuhkan waktu. "Kinerja industri sebagai penopang 20% total perekonomian pun melambat karena pasar ekspor masih sepi dan impor bahan baku terganggu Covid-19," katanya.