Perusahaan Australia dan Tiongkok Dikabarkan Tertarik Beli iFlix
iFlix dikabarkan tengah dalam pembicaraan untuk penjualan. Perusahaan Australia Crown Media and Entertainment dan asal Tiongkok, Tencent disebut-sebut ingin membeli startup penyedia layanan video on demand (VoD) ini.
Namun, dua sumber Business Times mengatakan, Tencent sudah berdiskusi dengan iFlix. Bahkan, Lowyat.net melaporkan bahwa iFlix sudah dijual ke raksasa internet asal Negeri Panda itu.
Lowyat.net menyebutkan, toko aplikasi menampilkan deskripsi bahwa penerbit iFlix yakni Renfeng Media Tech. Ini juga terdaftar sebagai penerbit aplikasi WeTV Tencent.
Laporan lain disampaikan oleh perusahaan media Amerika Serikat (AS) Variety, yang mengatakan bahwa Tencent Video membeli iFlix seharga beberapa puluh juta dolar. Kabarnya, harganya turun jauh dibanding yang ditarget iFlix melalui penawaran saham (public listing).
Akan tetapi, iFlix dan Tencent belum menanggapi kabar tersebut. (Baca: Hooq Tutup Layanan, Giliran iFlix Dikabarkan Akan Dijual)
Sedangkan Crown Media dikabarkan telah mengajukan tawaran untuk memperoleh iFlix. Perusahaan ini tertarik untuk memperbaiki bisnis iFlix, yang saat ini dibebani dengan utang.
Perusahaan Australia itu juga disebut-sebut telah menjajaki akuisisi beberapa aset Hooq. Sebagaimana diketahui, Hooq menutup layanan per 30 April, setelah melakukan pengajuan likuidasi akhir Maret lalu.
Sumber Business Times mengatakan, iFlix telah mengumpulkan lebih dari US$ 360 juta dari investor termasuk Fidelity, EDBI dan Hearst. Namun, saat ini startup VoD itu tengah berjuang untuk memenuhi kewajiban utangnya.
Salah satu sumber mengatakan, iFlix berniat untuk melantai di Bursa Efek Australia awal tahun ini. Tetapi kemudian membatalkan rencana itu, karena sentimen pasar yang lemah.
“Dalam posisi keuangan saat ini, iFlix hanya memiliki sekitar dua hingga tiga minggu untuk bertahan,” demikian dikutip dari Business Times. (Baca: iFlix PHK Karyawan Akibat Pandemi Corona dan Beban Utang)
Salah satu pendiri iFlix Mark Britt pun mengundurkan diri dari posisi kepala eksekutif akhir tahun lalu. Namun, ia tetap menjadi direktur eksekutif. Sedangkan co-founder iFlix Patrick Grove mengundurkan diri dari dewan perusahaan pada April lalu.
Kemudian, perusahaan menunjuk Ryan Shaw dan John Zeckendorf untuk menjabat posisi dewan pada 7 Mei. Shaw dan Zeckendorf merupakan prinsipal dari Mandala Asset Solutions yang berbasis di Australia.
Perubahan dewan itu terjadi ketika iFlix semakin dekat dengan tenggat waktu penyelesaian penawaran saham perdana (IPO) pada 31 Juli nanti. Namun, DealStreetAsia menyebutkan bahwa cadangan kas perusahaan disebut-sebut hanya US$ 12,7 juta.
(Baca: iFlix & Hooq Goyah saat Bisnis Video Streaming Panen Trafik, Mengapa?)
Perusahaan juga melaporkan kerugian bersih US$ 158,1 juta pada 2018. Ini terjadi karena ‘bakar uang’ atau promosi US$ 25,5 juta, sehingga liabilitas atau kewajiban bersih iFlix mencapai US$ 68,6 juta pada akhir 2018.
Nilai itu termasuk US$ 77,7 juta modal kerja negatif. Pada September 2019, perusahaan memperkirakan bahwa modal hanya cukup untuk overhead dan administrasi hingga 30 November 2019.
Namun, iFlix belum juga mengumumkan pendanaan tambahan sejak saat itu. Di satu sisi, investornya yakni Surya Citra Media (SCM) memutuskan untuk menarik dana Rp 98,62 miliar pada 31 Desember 2019.
Terakhir, iflix mengumumkan tambahan modal dari Fidelity International, MNC Group, Yoshimoto Kogyo dan JTBC pada 2019. Investor sebelumnya yakni Hearst Communications, EDBI, Liberty Global, Zain, Sky Plc dan Evolution Media Capital.
iFlix pun mencari tambahan dana sekitar US$ 50 juta dari investor yang ada. Namun, pada April lalu, iFlix justru melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Selain karena terdampak pandemi corona, perusahaan harus segera membayar utang yang jatuh tempo.
CEO iFlix Marc Barnett mengatakan industri VoD terpukul pandemi corona. Padahal, transaksi streaming film melonjak karena masyarakat dunia di rumah saja untuk menghindari penularan virus corona.
(Baca: Saingi Netflix hingga IndoXXI, Anak Usaha Gojek Galang Pendanaan)
"Keputusan kami mengurangi jumlah karyawan perusahaan diambil setelah pertimbangan yang cermat dan dalam hubungannya dengan langkah-langkah memangkas biaya lainnya,” ujar Barnett dalam pernyataan resminya kepada Katadata.co.id, April lalu (17/4).
Langkah ini diambil supaya perusahaan bisa bertahan di tengah ketidakpastian dan keterbatasan akibat pandemi Covid-19.