Siasat UMKM Meniti Gelombang Krisis Covid-19
Sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) kena hantaman terbesar dari dampak pandemi corona tahun ini. Ekonomi nasional pun terancam kolaps karena kontribusi sektor UMKM terhadap ekonomi mencapai 60% dan penyerapan tenaga kerja sekitar 90 persenan. Alhasil, pemerintah membuat berbagai kebijakan dan alokasi dana besar untuk menopang UMKM sekaligus memulihkan perekonomian nasional.
Meski sudah banyak usaha saat ini gulung tikar karena lesunya permintaan dan penjualan, masih ada UMKM yang bertahan, bahkan tumbuh di masa krisis ini. Berbagai macam strategi dilakukan, namun yang utama adalah mengubah model bisnis dan memanfaatkan teknologi digital.
Contohnya, produsen sepeda lipat asal Bandung, Jawa Barat, bernama Kreuz. Salah satu pemiliknya, Yudi Yudiantara, mengatakan sejak Mei lalu produknya malah kebanjiran order. Saking banyaknya, pesanan untuk sepedanya sudah penuh hingga September 2021.
“Kapasitas produksi kami per bulan memang sedikit. Kami atur hanya 10 sampai 15 frame set karena produknya custom handmade,” katanya ketika dihubungi Katadata.co.id, Selasa (23/6).
Usaha pembuatan sepeda yang baru dimulai awal tahun ini langsung kebanjiran permintaan. Momennya pas dengan situasi sekarang. Banyak orang menerapkan gaya hidup sehat. Sepeda jadi pilihan untuk alat transportasi agar dapat menjaga jarak dan terhindar dari infeksi Covid-19.
(Baca: Tren Bersepeda di Tengah Corona, Pendapatan UMKM Meningkat)
Awal bisnis Kreuz pada 2018 sebenarnya membuat tas pannier yang banyak dipakai para pesepeda. Baru pada akhir 2019, Yudi dan kawannya, Jujun Junaedi, tertarik membuat sepeda lipat tiga. “Kami butuh untuk display tas, bukan untuk dijual,” ucapnya.
Tak sanggup membeli Brompton yang harganya puluhan juta rupiah, ia membuat rangka mirip sepeda asal Inggris itu. Ramping, ringan, dan terlipat tiga. Ia melakukan modifikasi dengan perbaikan di beberapa bagian. Misalnya, bagian tekukannya berbeda, ukuran baut juga tidak sama, dan fork-nya juga agak lebar. Tujuannya memang bukan meniru Brompton, hanya mempelajari desainnya.
Dari desain itu ternyata peminatnya banyak. Yudi lalu membuka toko pada April 2020 di Jalan Batik Jonas, Bandung. Di toko berukuran lima kali sepuluh meter itu, ia menerima pesanan sepeda Kreuz. Konsumen dapat membeli satu frame set sepeda Kreuz seharga Rp 3,5 juta. Untuk sepeda dalam kondisi lengkap harganya dibandrol Rp 7 juta sampai Rp 8 juta.
(Baca: Kemenkop UKM Restrukturisasi Kredit Koperasi Terdampak Covid)
Dalam pembuatannya, Yudi melibatkan 30 industri rumahan, termasuk tukang bubut, tukang cetak plastik, dan tukang cat. “Alhamdulillah di tengah pandemi ini paling tidak sampai tahun depan mereka bisa survive,” ujarnya.
Pria yang sudah berkecimpung 20 tahun di bidang ekonomi kreatif ini percaya kondisi pandemi membuka banyak peluang bisnis. Para pengusaha UMKM hanya perlu jeli melihatnya.
Ubah Strategi Bisnis di Tengah Pandemi
Hal serupa dikatakan Direktur Utama SMESCO Leonard Theosabrata. Pandemi Covid-19 telah memaksa banyak orang melakukan akselerasi dan tangkas menemukan kesempatan. “It’s OK untuk mengarungi kehidupan baru, bahkan banting stir,” katanya.
Kehidupan normal baru atau new normal justru memunculkan keseimbangan antara kebutuhan dan keinginan setiap orang. Masyarakat kini lebih sadar soal kesehatan dan banyak beraktivitas di rumah. Pilihan gaya hidupnya lebih fundamental daripada sebelum Covid-19 muncul. “
Jadi, harapannya UMKM dapat berubah menyikapi tantangan pandemi ini,” kata pria yang akrab disapa Leo itu.
Selain sepeda, bisnis makanan siap saji dan makanan beku, menurut dia, sedang berkembang pesat. Pemilik Bakmi Tiga Marga itu merasakan peluang usaha tersebut.
Ketika mulai berlaku pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Jakarta pada 10 April 2020, penjualan langsung turun. Tapi ia menyiapkan amunisi lain, yaitu bisnis frozen food.
Dari penjualan secara daring atau online melalui platform e-commerce, bisnis makanan beku berkembang pesat. Dari pengalaman ini ia percaya UMKM dapat cepat bangkit di tengah krisis. “Di saat seperti ini harus reaktif saja, tapi dengan fundamental usaha yang benar,” ucapnya.
(Baca: Pandemi Covid-19 Mendorong 301 Ribu UMKM Beralih ke Online)
Pengusaha kedai kopi #Ngopidirumah, Eko Punto Pambudi, juga melihat masih ada peluang di tengah pandemi. Meskipun aktivitas masyarakat sekarang yang lebih banyak di rumah tak mengurangi kebutuhan kafein. Akhirnya banyak yang mencari kopi literan untuk stok.
Eko mulai membuat produk literan dan dijual secara online. Permintaan langsung naik, terutama melalui GoFood, GrabFood, dan Tokopedia. Hitungannya, sebotol isi satu liter setara dengan empat gelas kopi.
Nah, setiap hari untuk delapan outlet, ia menargetkan minimal terjual 40 cup dengan harga rata-rata Rp 15 ribu per cangkir. “Jadi, sehari terjual empat botol saja sudah lumayan,” ucapnya. Sejak menerapkan cara ini pada bulan lalu, ia pernah menerima order lebih 10 liter dalam sehari.
(Baca: Tak Hanya Tokopedia-Bukalapak, Alibaba Incar UKM Indonesia)
Selain menjual literan, Eko berencana mengeluarkan produk tanpa label. “Minimal orang harus beli 30 botol isi 250 mililiter,” ucapnya. Nanti pembeli boleh pakai label sendiri yang dibuat dan dipasang oleh Eko.
Ide terakhir ini baru akan ia persiapkan agar beberapa outlet dapat mengadopsinya. “Kalau sehari saja dapat satu pesanan, sangat lumayan itu,” kata Eko.
Beralih ke Penjualan Online
Namun, Leonard mengakui tak semua usaha dapat langsung bangkit. “Bisnis saya banyak yang jatuh juga, tapi tidak semua harus tutup kan,” katanya. Pria berusia 43 tahun itu menyebut usahanya di The Goods Dept dan Bright Spot Market terkena dampak signifikan akibat Covid-19.
The Goods Dept merupakan toko ritel yang menjual produk fashion dan kafé yang berada di banyak mal Jakarta. Sementara, Bright Spot Market adalah acara pameran UKM premium yang sudah berjalan sejak 2009.
(Baca: Bos Shopee & Bukalapak Sebut UMKM Jadi Medan Perang Baru Para Unicorn)
Hasil survei Katadata Insight Center terhadap 206 responden pemilik UMKM menunjukkan mereka yang terimbas positif di tengah situasi sekarang sangat minim, sekitar 6,6% dari jumlah responden. Sebanyak 63,9% mengatakan nilai penjualannya turun lebih dari 30% sejak pandemi terjadi. Kondisi ini membuat mereka harus mengurangi produksi, jumlah karyawan, dan penjualan.
Sebagian besar dari mereka masih dapat bertahan hingga setahun ke depan menjalankan bisnisnya. Namun, tak sedikit pula yang hanya sanggup tiga sampai enam bulan lagi, seperti terlihat dari grafik Databoks di bawah ini.
Banyak pelaku UMKM itu yang akhirnya melakukan pivot atau beralih dari sistem pemasaran offline (luring) ke online (daring). Ada pula yang membuat produk baru dan mendapat modal tambahan.
Internet menjadi akses UMKM untuk memasarkan produk melalui media sosial. Selain itu, dengan berbisnis secara online, pelaku usaha berkesempatan untuk promosi dan mengembangkan usaha.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mencatat sejak 14 Mei hingga 9 Juni 2020 sebanyak 301.115 UMKM beralih ke digital. “Ini adalah momentum untuk memperluas penetrasi pasar,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Jumat pekan lalu.
Bisnis online yang melayani kebutuhan rumah tangga mengalami lonjakan tertinggi. Peningkatannya sebesar 400%. Di bawahnya ada produk kecantikan dengan kenaikan usaha sebesar 80%, busana 40%, dan pengiriman barang 35%.
(Baca: Pemerintah Siapkan Rp 12 T Agar Bank Tetap Salurkan Kredit UMKM)
Mantan Calon Wakil Presiden RI periode 2019-2024 Sandiaga Uno sebelumnya sempat mengatakan UMKM sebaiknya menjadi sektor usaha yang pertama dibuka di tengah pandemi. “Dampak ekonominya paling besar karena sektor ini menopang 90% perekonomian nasional,” ucapnya ketika berbincang dengan Katadata.co.id pada 22 Mei lalu.
UMKM juga memberi manfaat ekonomi terbesar karena menyerap banyak tenaga kerja. Sedangkan pandemi corona telah menyebabkan hilangnya lapangan kerja bagi 10 juta sampai 15 juta pekerja formal dan informal di seluruh Indonesia.
Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM, total tenaga kerja yang terserap dari sektor ini pada 2018 mencapai 117 juta orang atau mencapai 97% dari total tenaga kerja Indonesia. Jumlahnya mencapai 64,2 juta UMKM atau 99,99% dari total unit usaha di Indonesia.