Potensi dan Hambatan Pembangkit Tenaga Panas Bumi di Indonesia
Geothermal alias panas bumi menjadi salah satu sumber energi terbarukan yang dapat berkembang di Tanah Air. Pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) diharapkan mampu memberi kontribusi besar dalam upaya mencapai target bauran energi baru terbarukan (EBT) 23 persen pada tahun 2025, sesuai tercantum dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).
Pertumbuhan PLTP dalam beberapa tahun terakhir bisa dibilang positif jika dibandingkan dengan pembangkit EBT lainnya. Berdasarkan laporan 'Capaian Kinerja Kementerian ESDM 2019', PLTP menyumbangkan 182,3 MegaWatt (MW) dari total 376 MW pembangkit EBT pada tahun 2019. Ini menjadikan panas bumi hanya kalah dari pembangkit listrik tenaga air (PLTA) soal bauran energi dari EBT secara total.
Meski menunjukkan tren positif, seharusnya perkembangan PLTP di Indonesia bisa lebih cepat. Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla sempat menyentil masalah ini saat Agustus 2019, saat membuka The 7th Indonesia International Geothermal Convention & Exhibition (IIGCE) di Jakarta.
JK menyoroti, Indonesia yang sudah memulai pengembangan pembangkit panas bumi sejak 35 tahun lalu, baru punya kapasitas terpasang 1.948,5 MW saat ini. "Sudah beberapa kali konferensi ini kemajuan sangat lamban," ujarnya saat itu, dikutip Katadata. Dia beranggapan PLTP bukan hal yang baru, jadi seharusnya tidak ada persoalan teknologi dalam pengembangan pembangkit panas bumi di Indonesia.
Besaran Kapasitas Pembangkit Listrik EBT --dalam Megawatt (MW)
(sumber: Capaian Kinerja Kemeneterian ESDM 2019)
Sementara menurut Ketua Asosiasi Panasbumi Indonesia (API) Prijandaru Effendi untuk mencapai target porsi EBT dalam bauran energi, pasokan listrik dari energi panas bumi harus mencapai 7.200 MW. Namun menurut dia hal itu akan sulit untuk dicapai mengingat tahun 2020 saja proyeksi PLTP baru 2.270,7 MW, sedangkan rerata pertumbuhan setiap tahun masih di bawah 100 MW.
Hambatan
Prijandaru lantas menjelaskan, secara garis besar ada dua masalah utama terkait percepatan pengambangan PLTP di Indonesia. Satu soal kepastian regulasi dan kedua soal tarif alias kemampuan beli PT PLN --penyedia tunggal energi di Indonesia. Harga jual listrik dari PLTP kerap kali ada di atas acuan harga PLN.
"Kita harap dua hal ini, tarif dan regulasi. Regulasi itu arahnya ke kepastian. Investor untuk masuk itu basisnya adalah regulasi,” ujar Prijandaru kepada Katadata. Sementara permasalahan harga, menurutnya sudah menjadi persoalan lama yang solusinya menuntut hadirnya negara dengan pemberian insentif ataupun penugasan pada PLN untuk membeli listrik dari pembangkit geotermal.
Hal ini juga diamini oleh Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) FX Sutijastoto. Menurut dia PLN tidak mampu membeli listrik dari hasil panas bumi akibat memperhatikan daya beli masyarakat yang rendah.
"Kalau negara maju pendapatannya cukup tinggi, daya beli tinggi, itu ada terobosan. Karena teknologi baru biaya tinggi, itu bisa diberikan ke konsumen," ujar Sutijastoto yang juga ditemui di acara The 7th Indonesia International Geothermal Convention & Exhibition (IIGCE), Agustus lalu.
Oleh sebab itu, pemerintah akan menyiapkan berbagai insentif agar harga energi dari panas bumi bisa kompetitif. Misalnya pembangunan infrastruktur panas bumi yang biayanya bisa dibayar kemudian oleh pemerintah. "Karena sebagian dari infrastruktur pembangunan transmisi sudah dilakukan pengembang listrik," ujarnya.
Sebelumnya, Direktur Utama Utama PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) Ali Mundakir juga pernah menjabarkan permasalahan terkait pembiayaan. Ali menggambarkan biaya untuk pengeboran untuk satu sumur eksplorasi bisa memakan dana sampai US$ 6 juta-10 juta. Secara khusus untuk pembangkit panas bumi, pembangunan infrastruktur pendukung juga perlu mendapat perhatian lebih.
Oleh sebab itu, Ali menyambut baik jika ada inisiatif dari pemerintah. Misalnya dengan melakukan pengeboran eksplorasi sehingga kalau prospek hasilnya bagus akan lebih mudah ditawarkan ke investor karena kepastiannya lebih tinggi.
Investasi terancam tertunda
Belum selesai persoalan daya beli dan pembiayaan, masalah diperparah lagi dengan pandemi Covid-19. Direktur Konservasi Kementerian ESDM Hariyanto menerangkan kalau beberapa proyek PLT EBT yang semulanya akan selesai tahun 2020 lantas mundur jadi tahun 2021.
Setidaknya ada tiga PLTP yang terdampak dan terancam mundur pengoperasiannya: PLTP Sokoria (5 MW) di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur; PLTP Rantau Dedap (90 MW) di Kabupaten Lahat, Sumatera Utara; dan PLTP Sorik Merapi (45 MW) di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. PLTP Sokoria misalnya. Pembangkit yang diharapkan beroperasi Februari 2020, diperkirakan baru akan rampung 2021 mendatang.
"Wabah covid-19 ini kan kita semua berharap ini terjadi jangka pendek. Nah, untuk proyek-proyek EBT ini kita desain proyek jangka menengah. Sehingga sampai sekarang ini belum dilakukan pergeseran secara signifikan, tapi ada kemunduran-kemunduran dari beberapa target yang terjadi, di antaranya adalah yang sedang konstruksi," ujarnya dikutip dari CNBC.
Peluang Terbuka Lebar
Terlepas dari kondisi pandemi, sebenarnya peluang investasi PLTP di Indonesia akan sangat menarik jika kendala-kendala yang ada bisa dibereskan. Prijandaru mengutarakan pembangunan pembangkit panas bumi sebagai solusi saat PLTU mulai perlahan ditinggalkan.
“Mulai tahun ini kan lembaga-lembaga pendanaan dunia memutuskan tidak mau lagi investasi di batu bara. Mereka cari EBT dan panas bumi ini bisa dipakai sebagai pengganti bahan bakar fosil untuk suplai base load,” terangnya.
Volume kapasitas yang besar dan stabilnya energi yang dihasilkan disebut Prijandaru sebagai keunggulan dari pembangkit geothermal. Selain itu pembangunan PLTP juga punya multiplier effect yang besar baik untuk masyarakat sekitar maupun pengembangan infrastruktur.