Kisah Redenominasi & Sanering Rupiah yang Pernah Terjadi di Indonesia
Isu redenominasi muncul lagi setelah terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 77/PMK.01/2020 pada 30 Juni lalu. Dalam aturan ini, Kementerian Keuangan mengusulkan rancangan undang-undang (RUU) redenominasi rupiah masuk dalam Program Legislasi Nasional 2020-2024.
Kementerian berpendapat penyerderhanaan nilai rupiah akan menimbulkan efisiensi perekonomian. “Berupa percepatan waktu transaksi, berkurangnya risiko human error, dan efisiensi pencantuman harga barang atau jasa karena sederhanya jumlah digit,” tulis aturan itu.
Redenominasi merupakan penyederahaan mata uang tanpa mengubah nilai tukarnya. Penyederhanaan itu dilakukan dengan cara mengurangi digit (angka 0). Dalam RUU Redenominasi, Kementerian mengatakan kebijakan tersebut bukanlah sanering.
Sanering adalah pemotongan daya beli masyarakat melalui pemangkasan nilai mata uang. Redenominasi biasanya dilakukan ketika kondisi perekonomian negara stabil. Sementara, sanering ditempuh ketika negara mengalami krisis dan ingin mengurangi peredaran uang di masyarakat.
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Andin Hadiyanto memperkirakan RUU itu baru dapat ditetapkan pada 2024. Setelah itu, pemerintah membutuhkan waktu setidaknya 11 tahun untuk menerapkannya secara penuh. "Ada beberapa tahapan yang akan dilakukan sebelum implementasi penuh," katanya, dikutip dari Kompas.com.
(Baca: Wapres: Redenominasi Rupiah Ditahan Karena Belum Ada Urgensinya)
Sejarah Redenominasi dan Sanering di RI
Menilik catatan sejarah, Indonesia pernah menerapkan dua kebijakan tersebut. Pada 1950, pemerintah menerapkan sanering. Peristiwa ini kerap disebut Gunting Syafrudin.
Menurut buku Sejarah Pemikiran Indonesia (2007), kebijakan itu diterapkan oleh Menteri Keuangan Kabinet Hatta II, Syafrudin Prawiranegara, setelah terjadi inflasi hebat pasca Konferensi Meja Bundar. Pecahan mata uang yang tinggi dipotong nilainya menjadi separuh.
Sesuai namanya, mata uang pun “digunting” menjadi dua bagian. Kebijakan tersebut dipilih setelah beban utang dan inflasi hebat melanda Indonesia.
Lalu, redenominasi terjadi pertama kali di Indonesia pada akhir kepemimpinan Presiden Sukarno pada 1966. Dalam The History of Bank Indonesia: Monetary 1959-1966 tertulis bank sentral pernah mencetak mata uang Rp 1 yang nilainya setara dengan seribu rupiah di tahun sebelumnya.
Keputusan itu terpaksa diambil karena beban pembiayaan proyek pembangunan yang tinggi. Selain itu, inflasi juga naik sehingga pemerintah melakukan penyederhaan nilai rupiah.
(Baca: Banyak RUU Mengantre Di DPR, Pemerintah Pinggirkan RUU Redenominasi)
Wacana serupa kemudian muncul lagi pada kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono. Melansir dari CNBCIndonesia, SBY sempat membentuk tim redenominasi pada 2011. Setelah mendapat restu Presiden, RUU Redenominasi pun diserahkan ke DPR.
Namun, DPR memasukkan RUU itu ke Prolegnas 2013, tahun yang sama dengan persiapan pemilu 2014. Akibatnya, aturan redenominasi pun tidak terselesaikan.
Usulan redenominasi muncul lagi pada 2016. Gubernur BI saat itu, Agus Martowardjojo, meminta Presiden Joko Widodo menggulirkan kembali rancangan undang-undangnya. “Kami juga ingin usulkan kepada Presiden, mohon mendukung proses penyelesaian RUU ini,” katanya pada 19 Desember 2016.
RUU yang berisi 17 pasal itu pun masuk ke Prolegnas, tapi tetap mandek hingga 2018. Padahal, target uji cobanya pada Januari tahun ini.
Redenominasi kemudian diteruskan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Kementerian Keuangan menyatakan siap membahas 19 RUU rencana strategis, termasuk RUU Redenominasi. Direktorat Jenderal Perbendaharaan ditunjuk menjadi penanggung jawab pembahasannya.
(Baca: Soal Redenominasi Rupiah, Darmin Minta BI Siapkan Uang Baru)
Redenominasi di Negara Lain
Berbeda dengan negara lain yang telah menerapkan redenominasi mata uang, Indonesia masih harus menunggu lama untuk melaksanakannya. Catatan Bank Dunia dalam World Development Indicator menyebut, sudah ada 55 negara yang melakukan penyederhanaan mata uang dan berhasil.
Salah satunya adalah Turki, pada 2005. Pemerintah di sana menghilangkan enam digit angka nol di mata uang, lira. Riset berjudul Impact of Currency Redenomination on Inflation Case Study Turkey (2005) melaporkan redenominasi negara itu membuat inflasi tetap terjaga. Dari kurun waktu 2005 hingga 2015, inflasi relatif stabil di angka 7,5%.
Namun, ada juga yang gagal melakukannya, yaitu Kongo dan Zimbabwe. Pencetakan uang yang terlalu masif setelah redenominasi membuat dua negara itu mengalami inflasi hebat.
(Baca: BI Klaim Jokowi Dukung Rencana Redenominasi Rupiah)
Penulis: Muhamad Arfan Septiawan (Magang)