Tersandung Maladministrasi, Antam Tunggu Keputusan Pemerintah
PT Aneka Tambang Tbk (Antam) hingga kini belum bisa menentukan sikap terhadap dua wilayah tambangnya yakni Bahadopi Utara dan Matarampe. Ini karena Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menemukan ada maladministrasi dalam lelang tersebut.
Sekretaris Perusahaan Antam Aprilandi Hidayat Setia menyatakan masih menunggu dan mengikuti aturan yang berlaku sesuai dengan arahan dari Kementerian ESDM. "Antam notabenenya masih Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Jadi kami akan mengikuti aturan yang berlaku atas hasil dari kementerian," kata dia, kepada Katadata.co.id, Jumat (25/1).
Antam juga sebenarnya sudah mengajukan surat permohonan kepada Kementerian ESDM untuk mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) untuk wilayah tambang di Matarape dan Bahadopi Utara. Namun, rencana eksplorasi terhambat karena adanya masalah tersebut.
Dengan adanya masalah ini, Antam mengalami kerugian secara waktu. "Seharusnya sudah eksplorasi tapi tidak bisa," kata Aprilandi.
Adapun, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) belum bisa memberikan keputusan mengenai penemuan maladministrasi dalam lelang WIUPK. "Belum tahu, lihat nanti," kata Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono, di Jakarta, Jumat (25/1).
Sebelumnya, Ombudsman menyarankan Direktorat Jenderal Mineral dan Batu bara (Minerba) membatalkan pemenang lelang. Menteri ESDM pun harus membatalkan keputusan Nomor 1802 K/30/MEM/2018 tentang WIUP dan WIUPK periode 2018. Setelah dibatalkan status berubah dari WIUPK menjadi WIUP, sehingga pemerintah daerah memiliki kewenangan mengelola wilayah tambang tersebut.
Hal ini disebabkan, adanya maladministrasi dalam penetapan WIUPK dan proses lelangnya. Antara lain, poin pertama maladministasi tersebut adalah penetapan WIUPK. Mengacu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2010, wilayah tambang harus berubah terlebih dulu menjadi Wilayah Pencadangan Negara (WPN) terlebih dulu.
(Baca: Antam Tertarik Beli 20% Saham Vale Indonesia)
Penetapan WPN harus melalui persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kemudian, setelah melalui WPN, bisa ditetapkan sebagai WIUPK dengan mempertimbangkan aspirasi dari pemerintah daerah.
Kedua, seharusnya WIUPK Operasi Produksi tidak bisa berubah statusnya menjadi WIUPK eksplorasi. Ini mengacu Undang-undang Nomor 4 tahun 2009.
Ketiga, maladministasi mengenai peserta lelang. Ombudsman menemukan kalau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Sulawesi Tengah yakni PD Konosara telah memenuhi persyaratan finansial dan terpolih sebagai pemenang lelang. Namun, ternyata dibatalkan Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara tanpa ada penjelasan.
Keempat, Ombudsman juga menemukan BUMD PT Pembangunan Sulawesi Tengah tidak diberikan kesempatan melakukan evaluasi ulang terhadap dokumen yang diberikan kepada pemerintah. Seharusnya, jika BUMD belum melengkapi dokumen, pemerintah berhak memberikan kesempatan kepada BUMD untuk melengkapinya.