Wamen ESDM Belum Yakin Indonesia Perlu Impor Gas di 2019
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar tak yakin pada 2019 nanti Indonesia bakal impor gas. Salah satu alasannya adalah kebutuhan gas untuk dalam negeri termasuk pembangkit belum ada peningkatan signifikan.
Menurut Arcandra, saat ini pemerintah memang tengah merevisi neraca gas. Dalam penyusunan itu, pihaknya tidak yakin kalau impor bakal terjadi di 2019. “Saya belum ada keyakinan kalau 2019 akan impor. Ini karena datanya perlu diperbaiki dulu," kata dia di kementerian ESDM Jakarta, Kamis (19/10).
Salah satu indikator untuk mengambil kebijakan impor adalah kebutuhan gas dalam negeri. Saat ini konsumen gas terbesar adalah sektor kelistrikan untuk kebutuhan pembangkit. Namun, melihat kondisi sekarang, beberapa pembangunan pembangkit listrik tenaga gas diprediksi tidak akan sesuai dengan target proyek 35 Gigawatt (GW).
Pembangunan pembangkit harus selaras dengan pertumbuhan ekonomi. Menurut Arcandra target proyek 35 GW itu dibuat dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 7-8%. Jadi kalau pertumbuhan ekonomi tidak sebesar itu, proyek pembangkit juga otomatis menyesuaikan.
Jumlah kebutuhan pembangkit listrik gas ini lah yang akan menentukan kebijakan impor tersebut. "Dari situ dilihat, apakah kebutuhan impor atau tidak. Karena salah satu pemakai gas terbesar dari listrik," kata Arcandra.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengusulkan dibukanya keran impor gas. Alasannya karena harga gas untuk industri dalam negeri masih mahal, terutama di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sei Mangkei.
Meskipun harga gas di kawasan itu turun menjadi US$ 10 per MMbtu dari US$ 13,5 per MMbtu, tapi harga itu masih di atas keinginan industri yakni US$ 9 per MMBTU. "Saya kemarin tanyakan ke Ignasius Jonan (Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral) solusinya apa Sei Mangkei? Boleh tidak impor? Yamemang agak ironis Indonesia ada gas," kata Darmin di Jakarta, Selasa (17/10).