Tanggung Beban Subsidi, Pertamina dan PLN Minta Setoran Dividen Kecil
PT Pertamina (Persero) meminta adanya penurunan rasio setoran dividen kepada negara tahun depan. Bahkan, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) berharap tidak menyetorkan dividen dari hasil laba bersihnya tahun ini. Alasannya, kedua perusahaan BUMN itu harus menanggung beban subsidi energi dan butuh dana besar untuk membiayai proyek-proyeknya.
Menurut Direktur Keuangan Pertamina Arief Budiman, Pertamina membutuhkan pendanaan untuk membiayai beberapa proyek besar, salah satunya pembangunan kilang minyak. Di sisi lain, perusahaan pelat merah ini juga ikut menanggung selisih penjualan Premium dan Solar dari harga keekonomiannya sebesar Rp 12,8 triliun selama semester I tahun 2017.
Bahkan, apabila tidak ada perubahan harga sementara asumsi harga minyak masih sama seperti ini, Pertamina berpotensi kehilangan pendapatan hingga Rp 20 triliun. (Baca: Pertamina Tak Ubah Standar Akuntansi untuk Pendanaan Kilang)
Di sisi lain, Kementerian BUMN mematok dividen yang harus disetor Pertamina sebesar Rp 8,12 triliun atau 20% dari target laba bersih dalam rencana kerja dan anggaran perusahaan (RKAP) 2017 perusahaan sebesar Rp 40,6 triliun. Rasio itu lebih rendah dari tahun lalu dimana Pertamina menyetor dividen sebesar Rp 12,1 triliun atau sekitar 29% dari laba bersih 2016 yang sebesar Rp 42 triliun.
Persoalannya, menurut Arief, target laba bersih tahun ini tersebut kemungkinan tidak akan tercapai. Hingga akhir tahun, Pertamina memprediksi hanya mampu menghasilkan laba bersih sekitar Rp 27 triliun. Salah satu penyebabnya adalah penurunan harga minyak dunia.
Karena itulah, Pertamina meminta pengurangan rasio dividen. "Kalau kami diminta tetap memberikan dividen Rp 8,2 triliun (sementara laba bersih Rp 27 triliun), payout ratio-nya naik (dari rencana 20%). Kami minta direndahkan (dividen) karena ada proyek-proyek besar," kata Arief saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Selasa (5/9).
Tapi, dia belum menyebutkan usulan perubahan rasio dan nilai setoran dividen Pertamina. "Kita harus diskusi ke depan."
Di tempat yang sama, Deputi Bidang Energi, Logistik, Kawasan, dan Pariwisata kementerian BUMN Edwin Hidayat Abdullah juga mengamini adanya selisih harga yang harus ditanggung Pertamina akibat menjual BBM di bawah harga keekonomiannya.
Untuk Solar, selisih yang harus ditanggung sebesar Rp 1.600 per liter dari harga saat ini Rp 5.150 per liter. Sedangkan Premium Rp 600 per liter dari harga jual kini Rp 6.450 per liter.
PT PLN juga meminta kelonggaran setoran dividen karena labanya tahun ini tertekan akibat kenaikan harga energi primer seperti batu bara. Apalagi, mayoritas pembangkit PLN masih berbasis batubara.
(Baca: Tak Boleh Menaikkan Tarif Listrik, PLN 'Ngadu' ke DPR)
Sepanjang semester I 2017, Harga Batubara Acuan (HBA) sebesar US$ 83,55 per metrik ton. Padahal, periode sama tahun sebelumnya hanya US$ 51,85 per metrik ton.
Selain itu, keuangan PLN tertekan akibat harga listrik untuk pelanggan non-subsidi yang tidak naik sejak awal tahun. "Kami mengusulkan tidak menyetor dividen karena tidak diizinkan menaikkan tarif di tengah kenaikan harga energi primer yang terjadi," kata Direktur Utama PLN Sofyan Basir.
Namun untuk memutuskan hal itu, Komisi VI DPR akan mengadakan rapat dengan sejumlah Perusahaan BUMN dan jajaran kementerian BUMN, Jumat pekan ini. Dalam pertemuan tersebut, setiap perusahaan BUMN melampirkan laporan laba bersih selama lima tahun terakhir.
(Baca: Anak Usaha Dominasi 55% Perolehan Laba PLN Tahun Lalu)
Menurut Ketua Komisi VI DPR Teguh Juwarno, adanya lampiran itu agar bisa melihat tren pemberian dividen dari masing-masing perusahaan. Selain itu, ia meminta tiap-tiap perusahaan BUMN juga melampirkan RKAP 2017. "Ini untuk melihat apa betul tercapai target-target dividen yang sudah ditentukan Kementerian BUMN, semoga sebelum rapat Jumat sudah masuk laporannya," kata dia.