Jokowi Akan Bersikap kalau Freeport Sulit Diajak Berunding

Ameidyo Daud Nasution
23 Februari 2017, 12:08
Jokowi Natuna
Biro Pers Setpres
Presiden Joko Widodo bersama Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan mengambil sikap jika PT Freeport Indonesia sulit diajak bekerja sama untuk menyelesaikan persoalan perubahan status kontrak pertambangannya. Pernyataan Presiden ini merespons rencana Freeport membawa persoalan tersebut ke pengadilan arbitrase internasional.

Menurut Presiden, dirinya hingga saat ini menyerahkan proses perundingan pemerintah dengan manajemen Freeport kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan. "Kita ingin ini dicarikan solusi menang-menang, dicarikan solusi yang win-win. Kami ingin itu. Kan ini urusan bisnis jadi oleh sebab itu saya serahkan kepada Menteri (ESDM)," ujar Jokowi usai acara pembagian bantuan pangan nontunai di Gelanggang Olahraga POPKI Cibubur, Kamis (23/2).

(Baca: Sri Mulyani : Tidak Akan Ada Lagi Negosiasi Tertutup dengan Freeport)

Apabila kedua pihak tidak mencapai kesepakatan dan memiliki solusi terbaik, maka Presiden baru akan mengambil sikap. "Kalau memang sulit diajak musyawarah maka saya akan bersikap," katanya. 

Namun, Jokowi tidak menjelaskan lebih detail mengenai sikap yang akan diambilnya terhadap Freeport, termasuk kemungkinan tidak memperpanjang kontrak perusahaan tambang Amerika Serikat setelah berakhir tahun 2021. "Ya nanti dilihat."

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan pernah mengancam tidak akan memperpanjang kontrak Freeport setelah tahun 2021. Ancaman itu akan diwujudkan jika Freeport tidak mau mengikuti peraturan di Indonesia dan membawa persoalan tersebut ke arbitrase.

(Baca: Optimistis Menang Arbitrase, Luhut Sebut Freeport 'Kampungan')

Seperti diketahui, Freeport Indonesia tidak dapat menerima kebijakan pemerintah, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2017. Peraturan anyar itu memberikan kesempatan kepada perusahaan tambang untuk tetap mengekspor mineral mentah (konsentrat) meski belum melakukan pemurnian di dalam negeri dengan membangun smelter.

Syaratnya, perusahaan itu harus mengubah Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Namun, Freeport keberatan dengan skema baru IUPK tersebut. Freeport juga menganggap Pemerintah Indonesia telah melanggar kontrak. Alasannya, dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, menyatakan Kontrak Karya tetap sah berlaku selama jangka waktunya.

President dan CEO Freeport McMoRan Inc. Richard C. Adkerson menilai Pemerintah Indonesia telah membuat keputusan sepihak. Karena itu, Freeport memberikan tenggang waktu selama 120 hari kepada Pemerintah Indonesia untuk mencapai kesepakatan. 

(Baca: Tantang Balik Freeport, Jonan: Mau Berbisnis atau Berperkara?)

Jika dalam empat bulan ke depan tidak tercapai kata sepakat, maka Freeport akan menggunakan haknya untuk mengajukan sengketa tersebut ke arbitrase internasional. “Jadi hari ini Freeport tidak lakukan arbitrase, tapi mulai proses lakukan arbitrase," kata Adkerson di Jakarta, Senin (20/2) lalu.

Menteri ESDM mempertanyakan rencana arbitrase tersebut. Apalagi, Freeport merupakan salah satu entitas bisnis di Indonesia. Menurut dia, sebagai perusahaan yang berbisnis di Indonesia, seharusnya Freeport menempuh jalur perundingan daripada harus menggugat pemerintah. “Ini sebenarnya mau berbisnis atau berperkara,” kata Jonan.

Editor: Yura Syahrul

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...