ESDM Paparkan Nilai Ekonomis & Enam Efek Berantai Gasifikasi Batu Bara
Pemerintah tetap mendorong gasifikasi batu bara meskipun menuai kritik dari beberapa pihak. Proyek hilirisasi tambang ini rencananya bakal menghasilkan dimethyl ether atau DME untuk menggantikan liquefied petroleum gas alias LPG. Dampak akhirnya, impor bahan bakar untuk memasak tersebut dapat berkurang.
Pelaksana Tugas Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana menyampaikan kebutuhan LPG atau elpiji domestik saat ini 70% masih impor. "Konsumsinya perlu disubtitusi untuk mengurangi tekanan terhadap neraca perdagangan dan meningkatkan ketahanan energi nasional," kata dia seperti dikutip dari laman resmi Kementerian ESDM, Senin (7/12).
Salah satu proyek DME sedang PT Bukti Asam Tbk lakukan bersama Pertamina dan Air Product. Pabrik di Sumatera Selatan ini rencananya akan memiliki kapasitas mengolah batu bara sebanyak 6 juta ton per tahun. Hasil produksinya mencapai 1,4 juta ton per tahun.
Pada November lalu, kajian dari lembaga internasional asal Amerika Serikat, Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), menyebut proyek DME tidak masuk skala keekonomian. Total biaya membangun fasilitas produksinya adalah Rp 6,5 juta per ton atau US$ 470 per ton.
Angka tersebut hampir dua kali lipat dari biaya yang pemerintah keluarkan untuk mengimpor elpiji. Karena itu, proyek gasifikasi Bukit Asam dapat menggerus penghematan impor elpiji hingga Rp 266,7 miliar atau US$ 19 juta.
Tim Kajian Hilirisasi Batu bara Balitbang ESD telah melakukan analisis dan konfirmasi atas kajian itu. Kesimpulannya, proyek DME secara ekonomi layak dijalankan.
Perbedaan hasil kajian di antara keduanya terjadi lantaran asumsi data yang berbeda. Khususnya terkait metode perhitungan dan pertimbangan efek berantai dari proyek tersebut.
Asumsi harga LPG yang digunakan lembaga think tank itu sebesar US$ 365 per ton dan hanya mencerminkan kondisi di 2020 ketika permintaan energi rendah di masa pandemi Covid-19. Sedangkan, asumsi harga LPG pada studi kelayakan Bukti Asam alias PTBA sekitar US$ 600 per ton dan mencerminkan harga elpiji rata-rata dalam 10 tahun terakhir. Perbedaan tersebut sangat mempengaruhi harga jual DME.
Perbedaan lainnya terkait asumsi harga batu bara dan kapasitas pengolahan atau input batu bara. Asumsi harga batu bara yang digunakan IEEFA sebesar US$ 30 per ton. Sedangkan Bukit Asam sekitar US$ 21 per ton untuk batu bara kualitas rendah.
Metode perhitungan yang digunakan IEEFA dinilai sangat sederhana. Pasalnya hanya memperlihatkan perhitungan satu tahun dengan asumsi biaya produksi DME sebesar US$ 300 per ton yang mengacu pada referensi proyek gasifikasi Lanhua di Tiongkok.
Bukit Asam telah melakukan uji kelayakan yang komprehensif dengan asumsi data yang menghasilkan keekonomian proyek dengan proyeksi arus kas atau net present value (NPV) sebesar US$ 350 juta. Lalu, laju pengembalian investasi atau internal rate of return (IRR) sekitar 11%. Dengan begitu, proyeknya ekonomis dan tidak rugi.
Dampak Berantai Proyek DME
Selain keekonomian proyek, setidaknya terdapat 6 poin dampak ekonomi dari hilirisasi batubara untuk DME. Pertama, proyek ini meningkatkan ketahanan energi nasional dan mengurangi ketergantungan impor LPG. Dengan penggunaan DME, akan impornya berkurang hingga 1 juta ton per tahun.
Kedua, menghemat cadangan devisa hingga Rp 9,7 triliun per tahun dan neraca perdagangan hingga Rp 5,5 triliun per tahun. Ketiga, menambah investasi asing yang masuk ke Indonesia sebesar US$ 2,1 miliar.
Keempat, pemanfaatan sumber daya batu bara kalori rendah sebesar 180 juta ton selama 30 tahun umur pabrik. Kelima, adanya multiplier effect berupa manfaat langsung yang didapat pemerintah hingga Rp 800 miliar per tahun.
Keenam, pemberdayaan industri nasional yang melibatkan tenaga lokal dengan penyerapan jumlah tenaga kerja sekitar 10.570 orang pada tahap konstruksi dan 7.976 orang pada tahapan operasi.
Lemigas Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian telah melakukan uji coba terkait kompor DME. Hasilnya, efisiensi kompor meningkat dari rata rata 61,9% dengan penggunaan elpiji, menjadi 73,4% dengan memakai DME.
Kritik proyek gasifikasi batu bara tersebut juga mendapat kritik dari Komisaris Utama Pertamina Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Proyeknya ia nilai terlalu mahal. Dampaknya, subsidi menjadi jauh lebih mahal ketimban impor elpiji. “Substitusinya menarik tapi memerlukan subsidi lebih mahal,” katanya.