Harga Minyak Brent Melesat, Dekati US$ 60 per Barel
Harga minyak mentah dunia naik pada perdagangan Senin pagi ini, (8/2). Pengurangan pasokan dari negara-negara produsen utama dan harapan stimulus ekonomi Amerika Serikat mendorong harga komoditas emas hitam tersebut.
Melansir dari data Bloomberg, minyak berjangka Brent untuk pengiriman April hampir menyentuh US$ 60 per barel. Angkanya di US$ 59,95 atau naik 1,03% dibandingkan penutupan akhir pekan lalu pada pukul 11.30 WIB.
Lalu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) naik 1,07% menjadi US$ 57,46 per barel. Harganya merupakan yang tertinggi sejak Januari 2020.
Produk energi dan logam saat ini sedang meningkat seiring dengan pemulihan ekonomi beberapa negara. “Laporan sektor tenaga kerja AS yang lemah mendorong harapan adanya stimulus lebih lanjut,” tulis analis ANZ, dikutip dari Reuters.
Dolar AS yang lebih lemah terhadap sebagian besar mata uang negara lainnya turut menaikkan harga komoditas. Produk-produk tersebut dijual dalam denominasi greenback sehingga lebih terjangkau bagi pemegang mata uang di luar itu.
Arab Saudi telah berkomitmen mengurangi pasokan minyaknya pada Februari dan Maret ini. Anggota negara pengekspor lainnya, yang disebut OPEC+, turut mengikuti langkah tersebut sehingga membantu menyeimbangkan pasar global.
Pasar Minyak akan Bullish Tahun Ini
Para hedge fund atau perusahaan pengelola aset gabungan di AS memperkirakan harga minyak akan melonjak naik tahun ini. Pembatasan pasokan menjadi pemicu utamanya.
Harga minyak patokan dunia, yaitu Brent, telah melonjak 59% sejak awal November ketika berita vaksin Covid-19 telah siap diproduksi. Minyak mentah acuan AS alias WTI naik 54% di sekitar US$ 57 per barel.
Hedge fund Maglan Capital yang berbasis di New York, David D Tawil memperkirakan harga Brent bisa mencapai US$ 70 hingga US% 80 per abrel pada akhir 2021.
Perkiraan ini berbeda dengan Badan Energi Internasional (EIA) yang Sebelumnya mengatakan lonjakan baru virus corona akan menghambat permintaan minyak di 2021. Pemulihan ekonomi diperkirakan akan lebih lambat dan konsumsi energi global baru akan melakukan rebound pada 2025.
Biasanya, ketika harga naik, para produsen akan meningkatkan produksinya. Namun, langkah perusahaan energi dunia yang fokus pada energi baru terbarukan membuat mereka kesulitan meresponnya.
Laju pemulihan produksi di AS, sebagai produsen minyak nomor satu dunia, diperkirakan akan melambat. Angkanya tidak akan melampaui rekor 2019 sebesar 12,25 juta barel per hari. Tahun lalu, produksinya turun 6,4% menjadi 11,47 juta barel per hari.
Beberapa institusi perbankan memperkirakan AS, yang memimpin dunia dalam jumlah kasus Covid-19, akan mencapai kekebalan kawanan atau herd immunity pada Juli nanti. “Kondisi ini akan sangat merangsang permintaan minyak,” kata kepala hedge fund Westbeck Capital Management, Jean-Louis Le Mee.
Prediksinya, pasar komoditas minyak akan kembali bullish. Di AS, para hedge fund sudah meningkatkan alokasi sahamnya ke Exxon Mobil Corp. Langkah serupa juga mereka lakukan untuk ConocoPhillips dan Chevron Corp.